• Friday, 22 November 2024

Kereta Api dan Kelas Kambing: Kisah Diskriminasi Penjajah Belanda ke Kaum Bumiputra

Kereta Api dan Kelas Kambing: Kisah Diskriminasi Penjajah Belanda ke Kaum Bumiputra
Suasana gerbong kereta api kelas tiga (kelas kambing) yang disediakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di era penjajahan | Tropenmuseum

SEAToday.com, Jakarta - Wacana pemerintah memberikan pengenaan subsidi tiket Kereta Api Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dikecam. Prinsip keadilannya dipertanyakan. Sebab, tiket kereta di belahan bumi manapun menggunakan tarif tunggal.

Kaya-miskin menggunakan kereta dan fasilitas yang sama sesuai bayaran. Kondisi itu seraya mencoba mengembalikan ingatan terkait perlakuan diskriminasi pemerintah kolonial Hindia Belanda di atas kereta api. Dulu kala penjajah membedakan kelas antara orang Eropa (kelas satu), timur jauh: orang Arab hingga China (kelas dua), dan bumiputra (kelas tiga: kelas kambing). Begini ceritanya.

Era penjajahan Belanda merupakan biang keladi rasisme kepada kaum bumiputra. Kaum bumiputra sering dikatakan malas hingga suka perang. Kondisi itu diperparah dengan kehadiran sebuah pepatah kuno terkait kaum bumiputra yang berdiam di pulau Jawa.

Pepatah itu mengatakan bahwa orang jawa tak pernah berjalan kalau dia bisa berhenti. Tidak pernah berdiri kalau dia bisa duduk. Tidak pernah duduk kalau dia bisa berbaring. Imej yang diberikan ke orang Jawa lalu digeneralisir kepada seluruh kaum bumiputra.

Penjajah mulai menghadirkan peraturan yang membeda-bedakan warna kulit pada 1854. Barang siapa yang memiliki kulit putih ala Eropa, mereka jadi warga kelas satu. Barang siapa yang berasal dari timur asing – Arab, China dan lainnya, punya kesempatan berbisnis jadi warga kelas dua.

Barang siapa yang notabene kaum bumiputra ditempatkan pada kasta kelas ketiga, alias kasta terbawah. Suatu kelas yang kerap dianggap penjajah sejajar dengan binatang. Pembuktian tentang itu hadir dengan banyaknya penanda tempat yang melarang kaum bumiputra masuk: Anjing dan Bumiputra dilarang masuk.

“Bila di gerbang gedung societeit dipasang maklumat, Anjing dan Pribumi dilarang masuk, petugas akan melarang pendatang dengan melihat ciri-ciri etnisnya, bukan dengan menanyakan asal-usul bumi-nya,” ungkap sastrawan Goenawan Mohamad dalam kolomnya Catatan Pinggir di majalah Tempo berjudul Pribumi, 29 Oktober 2017.

Transportasi Andalan

Rasisme terhadap kaum bumiputra tak hanya berlaku di gedung hiburan dan pertunjukan orang Eropa saja. Namun, rasisme sudah masuk dalam segala lini kehidupan. Rasisme sudah sampai menggerogoti transportasi populer di eranya: kereta api.

Misi pemerintah Belanda menghadirkan kereta api jelas mengacu kepada keuntungan ekonomi. Barang-barang hasil bumi dapat cepat dibawa ke kota hingga pelabuhan. Orang-orang pun dapat berpindah dengan cepat dan efisien dari satu tempat ke lainnya.

Puncak kehadiran kereta api pun terjadi pada 1842. Stasiun-stasiun kereta api kian banyak dibangun. Aksesnya pun dibuka lebar. Semua orang bisa naik kereta api. Namun, terdapat syarat dan ketentuan yang berlaku.

Warna kulit dan suku jadi paling utama. Aturan itu membuat setiap kereta api memiliki gerbong khusus. Gerbon kelas satu hanya boleh diisi orang Eropa. Gerbong kelas dua hanya boleh diisi orang timur asing. Sisanya, kaum bumiputra hanya boleh menempati kelas tiga atau kelas kambing.

Suatu pembagian kelas yang tak jauh berbeda dengan yang dimunculkan pemerintah kolonial kemudian pada 1854. Harga tiketnya pun dibeda-bedakan. Nantinya petugas karsis yang menentukan seseorang diperbolehkan di kelas yang seharusnya. Sebab, jika sampai ada kelewatan kaum bumiputra masuk ke kelas satu, tuan-tuan Belanda niscaya akan marah bukan main.

Pemerintah pun berharap transportasi massal itu bekerja dengan baik untuk kepentingan orang Belanda. Harapan itu tercapai. Namun, pengguna utamanya tetap kaum bumiputra. jumlah itu kian meningkat tiap tahunnya dan tak terbantahkan.

“Di kelas tiga, bagaimanapun (atau kelas kambing, sebagaimana biasa disebut), kenaikannya adalah 550.000. Komisi itu tidak menyembunyikan keterkejutannya: Pemanfaatan kereta api dan trem oleh orang kecil/kleine man (istilah Belanda untuk rakyat, orang jalanan, bumiputra) naik lebih cepat dari dugaan semula,” ungkap sejarawan Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).

Rasisme di dalam kereta dianggap sebenarnya tindakan yang sia-sia. Perlakuan itu pada akhirnya sama saja. Mereka --semua kelas-- tetap bergerombol masuk gerbong dan merasakan irama kereta, guncangan dari satu lokomotif yang sama. Walau memang gerbong kelas kambil tak nyaman.

Kelas Kambing

Diskriminasi secara sengaja memang diarahkan kepada kaum bumiputra. Kondisi itu membuat kepedihan mereka yang sering berpergian. Gerbong kelas tiga dihadirkan jauh berbeda dari gerbong kelas satu dan dua.

Murah memang. Namun, aroma diskriminasi tercium jelas. Gerbong kelas tiga yang biasa disebut kelas kambing jadi gerbong paling ramai. Masalahnya kenyamanan adalah hal yang tak mungkin tersedia di dalam gerbong. Gerbongnya sumpek dan bau.

Orang-orang tak berada berjubelan hingga kepanasan. Ludah berceceran di sembarang tempat. Kondisi itu diperparah dengan kaum bumiputra yang sering kali membawa ternak ayam dan kambing. Kehadiran ternak itu semakin membuat penegasan gerbong kelas tiga adalah kelas kambing.

“Di depan tuan kulit putih terongok barang bawaan-bawaan perjalanan yang tidak hanya berupa kopor-kopor kulit besar yang melainkan juga rantang-rantang, buah durian, bekal makanan yang biasa menjadi ciri khas kaum bumiputra jelata yang menempati gerbong kelas tiga,” ujar Bedjo Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019).

Satu-satunya harapan kaum bumiputra naik kereta api hanya untuk bisa cepat sampai tujuan. Pengalaman di atas kereta dianggap tak terlalu penting. Alias, ingin dibuang dari ingatan. Kondisi itu jauh berbeda dengan gerbong kelas satu yang nyaman, bahkan dilayani dengan baik dengan fasilitas mewah.

Aroma ketidakadilan itu membuat kaum bumiputra berang. Mereka sudah dijadikan warga negara kelas tiga. Mereka harus pula menerima diskriminasi dan rasisme di atas kereta. Kesadaran-kesadaran itu yang kemudian memupuk keinginan bahwa bangsa Indonesia harus merdeka dan melawan penjajahan.

 

Share
News Update
UN Condemns Security Council’s Failure to Pass Crucial Ceasefire Resolution

UN Condemns Security Council’s Failure to Pass Crucial Ceasefire Resolution

Erick Thohir Officially Inaugurates New Board for Indonesian Futs...

The formation of the new management for these two federations under PSSI aims to align all stakeholders related to football in Indonesia.

BAZNAS to Build Hospitals, Mosques, Schools in Gaza Recovery Prog...

The funds to be used are the donation funds that are still being held for the Palestinian people. According to him, the donation for Palestine titled “Membasuh Luka Palestina”

Ngurah Rai Airport Expands Access to Nusantara via Balikpapan wit...

General Manager of PT Angkasa Pura Indonesia I Gusti Ngurah Rai Airport Ahmad Syaugi Shahab in Denpasar, on Wednesday (11/20), said this route adds connection opportunities to the State Capital of the Archipelago.

Minister Yusril Clarifies: Mary Jane Veloso Transferred, Not Rele...

Yusril explained that the Indonesian government had received an official request from the Philippine government regarding the transfer of Mary Jane Veloso. The transfer can be carried out if the conditions set by the Ind...

Trending
LOCAL PALETTE
BEGINI CARANYA PERGI KE SUKU PEDALAMAN MENTAWAI - PART 1