• Friday, 22 November 2024

Aroma Salah Tangkap Pemerkosa Gadis Penjual Telur: Sum Kuning

Aroma Salah Tangkap Pemerkosa Gadis Penjual Telur: Sum Kuning
Potret Roekimini Sudjono dan Sumaridjem (Sum Kuning) yang kasus pemerkosaannya pernah populer di era 1970-an | Perpustakaan Nasional

SEAToday.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menghormati dan mengikuti keputusan prapradilan yang membebaskan Pegi Setiawan dari kasus pembunuhan Vina pada 8 Juli 2024. Sikap itu jadi bukti bahwa kepolisian juga manusia biasa. Alias pernah keliru –salah tangkap-- dalam memutuskan tersangka.

Pegi Setiawan pun harus dipulihkan kembali namanya. Namun, kasus salah tangkap bukan cuma satu dua kali saja terjadi. Kasus Sum Kuning era 1970-an pernah jadi ‘parade’ polisi melakukan salah tangkap dalam mengungkap pemerkosa penjual telur asal Godean. Begini ceritanya.

Nasib malang dapat menimpa siapa saja. Rakyat kecil seperti Sumaridjem juga pernah ketiban sial. Wanita asal Godean itu hanya tahu mencari rejeki lewat jalur halal. Gadis penjual telur berusia 17 tahun itu sering mondar-mandir di Yogyakarta supaya barang dagangannya laku.

Sum Kuning ketiban apes pada 21 September 1970. Ia tak kebagian bus pulang ke Godean. Ia mencoba berjalan kaki untuk mencapai rumah. Namun, wanita malang itu justru dicegat empat orang laki-laki berambut gondrong yang keluar dari sebuah mobil.

Sum tak berkutik. Ia dibius dan diperkosa secara bergantian. Uangnya hasil jualan sebanyak Rp4.650 diambil. Sum pun dibuang dipinggir jalan. Sum yang kesakitan segera mencari bantuan ke salah satu pelanggannya.

Wanita pejual telur itu dibawa ke rumah sakit. Informasi pemerkosaannya menyebar ke mana-mana. Halaman muka media massa nasional seraya 'dibajak' oleh berita kasus pemerkosaan Sum Kungi. Aparat keamanan mencoba mengulir keterangan dari Sum.

Mereka justru tak bersimpati. Sum yang jadi korban malahan dianggap menyebar berita bohong.

“Dimana Sumaridjem penjual telur yang lugu itu dituduh menyebarkan berita bohong karena dia mengungkap pengalamannya diperkosa oleh beberapa orang anak muda,” ungkap tokoh hukum Indoneisa, Artidjo Alkostar dalam buku Negara Tanpa Hukum: Catatan Pengacara Jalanan (2000).

Kriminalisasi Sum Kuning

Hasil visum dokter terhadap Sum King keluar. Data Visumnya mengungkap wanita itu mengalami pendarahan di alat kelamin. Selaput dara robek dan kaki kanan dan kirinya terluka. Suatu kondisi yang mengindikasikan terjadinya tindakan pemerkosaan.

Pihak kepolisian punya kesimpulan lain. Sum yang baru keluar rumah sakit segera dibawa ke kantor polisi untuk diminta keterangan. Keterangan Sum diabaikan. Aroma kriminalisasi terhadap Sum kian mencuat.

Sum sempat dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sempat pula bagian tubuhnya diperiksa untuk mencari gambar palu arit. Tindakan yang notabene khas Orde Baru (Orba) untuk mengkriminaslisasi musuh atau lawan politik.

Sidang kasus Sum Kuning pun digelar secara tertutup. Alias tiada insan media yang boleh meliput. Keputusan itu memunculkan tanda tanya besar terkait skenario yang dimainkan oleh polisi. Belum kering rasa ingin tahu pers, sidang itu justru jadi ajian menyudutkan Sum.

Keterangan Sum yang menyebut ia diperkosa secara bergantian oleh empat pemuda gondrong tak dipercaya. Keterangan itu dianggap berita bohong. Jaksa merujuk keterangan Sum yang dibius waktu diperkosa. Sum dituntut oleh jaksa tiga bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun.

Tuntutan itu membakar amarah khalayak umum. Borok polisi yang bak ingin mengirim Sum ke bui dikecam. Polisi yang dianggap campur tangan dalam persidangan tak luput dari kemarahan rakyat.

“Yang pokok bagi polisi kini ialah untuk membekuk mereka yang melakukan perkosaan. Janganlah polisi membuang-buang waktu lagi untuk memeriksa bahwa Sum Kuning benar-benar diperkosa atau hanya membuat laporan palsu,” ungkap Mochtar Lubis dalam buku Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya Volume 2 (1997).

Desakan khalayak umum membuat hakim membebaskan Sum dari segala macam tuduhan. Kasus Sum lalu mendapatkan atensi lebih dari Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Hoegeng tak ingin kasus Sum menggantung dan segara mencari siapa pelaku pemerkosaan.

Salah Tangkap

Kasus Sum Kuning jadi peristiwa yang memancing atensi publik tinggi di era 1970-an. Atensi itu muncul karena keterangan Sum Kuning tak diakui pihak-pihak kepolisian. Muncul banyak versi dari pemerkosa Sum Kuning. Ada yang masuk akal. Ada pula yang tak dapat ditangkap nalar.

Versi yang paling populer yang menyebut pemerkosa berasal dari anak penggede di Yogyakarta tak diterima. Kepolisian justru memburu seorang penjual bakso bernama trimo. Versi itu mengunggap Sum dan Trimo telah memiliki hubungan gelap. Trimo lalu gelap mata dan memerkosa Sum.

Trimo yang sudah jadi terdakwa merasa tak bersalah. Ia menganggap dirinya tak mengenal Sum sama sekali. Ia hanya jadi korban salah tangkap polisi saja. Trimo jadinya dipaksa suruh mengaku. Namun, dalam perjalanannya Trimo dibebaskan.

Polisi mengakui kesalahannya menetapkan Trimo sebagai pemerkosa. Gaung kasus Sum mulai mereda karena kuasa Hoegeng sebagai Kapolri ‘digoyang’ pemerintah Orba. Artinya, ruang gerak untuk mengungkap siapa pemerkosa Sum jadi abu-abu.

Keraguan itu dimanfaatkan Mayor Roekmini Sudjono. Polisi yang juga Sarjana Psikologi mulai merancang skenario baru. Pemerkosa Sum bukan dari penggede, tapi anak orang biasa. Mereka yang memerkosa Sum bertambah jadi 11 orang.

Mereka menggunakan dua mobil untuk melancarkan aksinya memerkosa Sum secara bergantian. Enam terdakwa pun diamankan. Sum pun seraya dibius membenarkan scenario Rukmini. Namun, mereka yang dituduh pemerkosa tak merasa malakukan tindakan bejat. Mereka menganggap dirinya sebagai korban salah tangkap.

“Skenario Mayor Roekmini yang menyasar 11 orang ini kemudian dibuyarkan jaksa dengan cara meminta pembebasan empat terdakwa. Majelis hakim ternyata setuju. Dengan begitu tinggal dua terdakwa yang masih akan disidang. Alhasil, setelah persidangan 39 kali seláma lima bulan hakim memvonis kedua terdakwa masing-masing empat tahun penjara potong masa tahanan,” ungkap Aris Santoso dan kawan-kawan dalam buku Hoegeng (2009).

Vonis itu membuat kasus Sum Kuning seraya tutup buku. Memang benar kemudian ada film bertajuk Perawan Desa (1980). Film itu sempat mengembalikan ingatan akan pemerkosaan penjual telur asal Godean itu. Namun, hasilnya nihil.

Sum sendiri telah mencoba hidup tenang. Pembelanya sudah memiliki kesibukan lainnya. Perhatian publik juga sudah mengarah ke banyak hal. Sederet hal itu membuat kasus Sum Kuning menguap. Segala bentuk kebenarannya boleh jadi telah dibawa mati oleh Sum sendiri sehingga di dunia hanya ada teka-tekinya saja.

 

 

Share
News Update
UN Condemns Security Council’s Failure to Pass Crucial Ceasefire Resolution

UN Condemns Security Council’s Failure to Pass Crucial Ceasefire Resolution

Erick Thohir Officially Inaugurates New Board for Indonesian Futs...

The formation of the new management for these two federations under PSSI aims to align all stakeholders related to football in Indonesia.

BAZNAS to Build Hospitals, Mosques, Schools in Gaza Recovery Prog...

The funds to be used are the donation funds that are still being held for the Palestinian people. According to him, the donation for Palestine titled “Membasuh Luka Palestina”

Ngurah Rai Airport Expands Access to Nusantara via Balikpapan wit...

General Manager of PT Angkasa Pura Indonesia I Gusti Ngurah Rai Airport Ahmad Syaugi Shahab in Denpasar, on Wednesday (11/20), said this route adds connection opportunities to the State Capital of the Archipelago.

Minister Yusril Clarifies: Mary Jane Veloso Transferred, Not Rele...

Yusril explained that the Indonesian government had received an official request from the Philippine government regarding the transfer of Mary Jane Veloso. The transfer can be carried out if the conditions set by the Ind...

Trending
LOCAL PALETTE
BEGINI CARANYA PERGI KE SUKU PEDALAMAN MENTAWAI - PART 1