Alasan Berubahnya Istilah Jakarta Fair ke Pekan Raya Jakarta
SEAToday.com, Jakarta - Animo warga Jakarta dengan Jakarta Fair Kemayoran atau Pekan Raya Jakarta (PRJ) cukup tinggi. Perayaan yang dihelat dalam rangka HUT Jakarta itu tak hanya mampu menghadirkan banyak hiburan, tapi juga promisi barang dan jasa.
Mereka yang datang sampai memiliki istilah sendiri. Ada kubu yang menyebut Jakarta Fair. Ada pula yang menyebut hajatan warga Jakarta sebagai PRJ. Sebenarnya istilah mana yang lebih dulu hadir, Jakarta Fair atau PRJ. Istilah itu tercipta bersamaan atau tidak? Begini jawabannya.
Kebutuhan warga Jakarta tak melulu urusan makan belaka. Urusan makan senantiasa dapat dicukupi, tapi masalahnya kebutuhan yang bersifat rekreasi tak banyak. Hiburan pun kian terbatas jika warga Jakarta berada ditaraf ekonomi menengah ke bawah.
Kehidupan tak pernah memihak kepada mereka. Ali Sadikin menyadari benar masalah warganya. Gubernur DKI Jakarta era 1966-1977 memiliki misi untuk memajukan kota Jakarta dan membahagiakan --semua golongan-- warganya. Kesimpulan ditariknya. Ia mengungkap Jakarta butuh hajatan besar dan meriah.
Ali menjawab tantangan itu dengan sebuah keinginan menghadirkan hajatan pasar malam. Namun, dengan skala besar-besaran. Ali ingin mengadopsi bagian pasar malam era kolonial Belanda: Pasar Gambir.
Ia pun mulai mengombinasikan ide pasar malam itu dengan kenangannya berkunjung pameran-pameran di luar negeri, ke Hamburg Fair dan Leipzig Fair. Bedanya, Ia tak ingin nuansa promosi dan pemasaran yang lebih kental. Ia meminta jajaran untuk menghadirkan banyak hiburan rakyat.
“Pada Ulang Tahun DKI bulan Juni tahun depan, kita akan selenggarakan Jakarta Fair. Ya, di Lapangan Gambir. Dulu di Koningsplein ini ada Pasar Gambir, kita teruskan saja tradisi itu," ungkap Ali Sadikin ditulis stafnya era 1966-1979, Wardiman Djojonegoro dalam buku Sepanjang Jalan kenangan (2016).
Lokasi yang dipilih Ali adalah Lapangan Merdeka (sekarang: Lapangan Monas). Suatu lokasi yang dulunya juga dilaksanakan Pasar Gambir. Pria yang akrab disapa Bang Ali itu menamakan acaranya sebagai Djakarta Fair (Jakarta Fair).
Sebuah acara yang pertama kali dihelat dari 5 Juni hingga 20 Juli pada 1968. Tanggal itu sengaja dipilih dalam rangka memeriahkan HUT Jakarta yang jatuh pada 22 Juni.
Dari Jakarta Fair ke PRJ
Penyelenggaraan Jakarta Fair pertama terhitung sukses. Peserta pamerannya mencapai 160 peserta, dari kalangan pengusaha dalam dan luar negeri. Warga Jakarta yang datang pun bejibun. Ali tak lantas berpuas diri.
Ia justru meminta jajarannya untuk melakukan evaluasi dalam banyak hal. Tujuannya supaya penyelenggaraan ke depan lebih siap. Ia meminta Jajaran untuk menambah banyak hiburan untuk rakyat.
Hasilnya menjanjikan. Warga Jakarta yang hadir dalam penyelengaraan Jakarta Fair dari tahun ke tahun terus meningkat. Demikian pula dengan peserta pameran. Belakangan warga dari kota-kota lainnya ikut meramaikan dan sengaja datang ke Jakarta Fair.
Animo masyarakat yang tinggi memaksa luas areal Jakarta Fair ditambah. Awalnya hanya 11 hektar jadi 21 hektar. Namun, Jakarta Fair tak hanya membawa berita keberhasilan saja. Beberapa orang menganggap nama Jakarta Fair tak menunjukkan identitas nasional.
Kritik itu muncul bersamaan dengan isu penggunaan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional yang menguat pada era 1970-an. Pemerintah Orde Baru (Orba) menganggap bahasa Indonesia harus mendapatkan perhatian besar.
Kebijakan itu membuat banyak istilah asing yang ada di pemerintahan berubah. Istilah asing mulai dicari padanan yang tepat untuk bahasa Indonesianya. Kondisi itu membuat rakyat Indonesia diyakini akan menumbuhkan rasa nasionalisme.
“Politik bahasa pada rezim Orde Baru juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan agar komunikasi formal dalam skala nasional, terutama dalam lembaga pendidikan dan acara resmi kenegaraan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kebijakan ini cukup ampuh mendongkrak citra bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,” ungkap Dadang S. Anshori dalam buku Bahasa Rezim: Cermin Bahasa dalam Kekuasaan (2020).
Ali pun melakukan hal yang sama. Ia mulai mencari padanan yang tepat untuk menggantikan istilah Jakarta Fair. Suatu istilah yang sudah dikenal oleh warga Jakarta. Ia tak ingin gara-gara istilah Jakarta Fair pemerintah DKI Jakarta disebut tak nasionalis.
“Begitu sebutannya pada mulanya: Jakarta Fair. Tapi di tengah perjalanan saya ganti sebutannya dengan PRJ, berbarengan dengan usaha mengurangi sebutan-sebutan dalam bahasa asing di tengah kehidupan di Ibu Kota ini. Ya, ada masanya saya kumandangkan suara saya untuk mempergunakan lebih banyak sebutan-sebutan dalam bahasa asing,” tegas Ali Sadikin ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Semenjak itu istilah Jakarta Fair mulai berganti jadi PRJ. Kehadiran istilah baru itu membuat orang-orang memiliki pandangannya sendiri terkait hajatan tahunan milik Pemerintah DKI Jakarta. Ada yang tetap menyebut Jakarta Fair. Ada pula yang mulai menyebut PRJ.
Dua istilah itu pun bertahan hingga saat ini. Bahkan, sebutannya kadang kala tidak dipisah. Orang-orang menyebut dengan nama Jakarta Fair dengan embel-embel PRJ. Atau sebaliknya PRJ dengan embel-embel Jakarta Fair.
Intinya sama. PRJ atau Jakarta Fair sama-sama adalah perayaan untuk memperingati HUT Kota Jakarta. tiada yang berbeda, kecuali lokasi yang berpindah dari Lapangan Merdeka ke Kemayoran.
Recommended Article
News Update
Criminal Investigation Agency Question Cooperatives Minister Budi...
Budi Arie Setiadi, current Minister of Cooperatives, questioned by Kortastipidkor regarding undisclosed matters. Investigation linked to past scandals.
Light Rain Expected Across Most of Jakarta
The BMKG forecasts light rain for most areas of Jakarta and the Thousand Islands on Thursday, (12/19/2024).
OIKN Targets Legislative, Judicial Buildings to be Completed in...
The Nusantara Authority (OIKN) is targeting the construction of legislative and judicial infrastructure to be completed by 2028.
The Ministry of Foreign Affairs Confirms No Indonesian Citizens A...
The Indonesian Ministry of Foreign Affairs has confirmed that no Indonesian citizens (WNI) were victims of the 7.3-magnitude earthquake that struck Vanuatu on Tuesday, December 17, 2024
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).