NEWS
Awal Mula Salah Kaprah Sistem Kasta di Bali

potret kehidupan rakyat Bali tempo dulu | Wereldmuseum Amsterdam
SEAToday.com-Jakarta, Pulau Bali memiliki stratifikasi sosial tertutup sering jadi pembicaraan. Sistem kasta yang tak dapat berpindah tingkatan banyak memancing diskusi, dari urusan pembagian kasta brahmana, ksatria, wasia, dan sudra.
Pengelompokkan itu dianggap tradisi dan sudah membudaya. Namun, jika dilirik dalam lintasan zaman sistem kasta adalah hal baru. Sistem itu bukan pedoman utama yang digunakan warga Bali tempo dulu. Sistem kasta justru mulai mengemuka dari penjajah Belanda. Begini kisahnya.
Sistem kasta di Bali tak dapat dipisahkan dari era penjajahan Belanda di Nusantara. Dulu kala penjajah Belanda dalam jubah kongsi dagang Belanda, VOC selalu punya cara menaklukkan dan memonopoli rempah suatu wilayah. Ajian beragam. Cara halus dan kasar turut dimainkan.
Cara halus yang digunakan Kompeni dengan cara mengajak bekerja sama. Cara kasarnya ialah lewat kuasa ujung bedil, alias perang. Perang pun kadang kala tak efektif. memakan biaya besar pula. Kompeni sering rugi.
Rencana pun mulai diubah jadi devide et impera – politik pecah belah. Siasat itu menjamin keberhasilan. Biaya yang dikeluarkan relatif kecil dengan keuntungan melimpah. Cara itu digunakan terus oleh Kompeni.
Devide et Impera
Politik pecah belah lalu diadopsi di era pemerintah kolonial Hindia-Belanda setelah VOC lengser. Penjajah Belanda memanfaatkan cara itu untuk menaklukkan dan menduduki suatu wilayah. Pulau Bali pun mulai masuk radar penjajah Belanda.
Belanda mulai gencar menaklukkan Bali dari 1846 hingga menaklukkannya pada 1908. Langkah penaklukkan pun dilakukan penjajah Belanda dengan menggunakan siasat politik pecah belah: sistem kasta.
“Sesudah masuknya seluruh wilayah Bali ke dalam kerajaan kolonial Belanda pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia juga menggairahkan kembali sistem kasta tradisional Hindu Bali yang eksotis, dengan cara menghidupkan kembali tata-nama kuno dan mengembalikan kedudukan penguasa pulau yang bersifat turun-temurun,” cerita Sejarawan Frances Gouda dalam buku Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942 (1995).
Belanda mencoba membagi orang Bali ke dalam empat kasta: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Mereka yang bekerja sebagai rohaniwan termasuk dalam kasta Brahmana. Mereka yang bekerja di militer masuk kasta Ksatria. Mereka yang bekerja di bidang perdagangan masuk Waisya. Mereka yang jadi buruh-budak masuk ke dalam kasta sudra.
Pembagian itu nyatanya bukan untuk menegakkan tradisi dan budaya orang Bali. Pengelompokan itu murni supaya orang Bali sulit bersatu dan mudah dikendalikan. Suatu kondisi yang berbeda dengan tatanan orang Bali dahulu yang lebih luwes dan beragam, tidak kaku.
“Meskipun orang Belanda menganggap rendah aristokrasi Bali, dengan segera mereka akan menyadari/ bahwa mereka membutuhkan kerja sama dengan kaum ningrat tersebut jika mereka ingin berhasil mengatur desa desa. Itu sebabnya maka sejak 1910 mereka memutuskan untuk mengesahkan ‘sistem kasta’ (kastenstelsel), yang mereka anggap sebagai dasar seluruh masyarakat yang terhindukan,” ujar Michel Picard dalam buku Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali (2017).
Salah Kaprah
Upaya Belanda mempertebal urusan sistem kasta dikenal ampuh. Golongan-golongan kasta teratas kian terbantu untuk berkuasa. Kondisi itu membuat Belanda cukup mendekati golongan atas. Setelahnya, kasta teratas memainkan perannya untuk membuat kasta lainnya tunduk.
Sistem kasta itu dilegitimasi dengan hadirnya kerajaan kecil dan lembaga peradilan. Lembaga itu memberikan pengakuan legal pada sistem kasta. Budayawan Bali, Mangku Alit Sidhi Mantra menyebut pengaruh Belanda lalu membuat kelas brahmana jadi yang paling dominan dalam sistem kasta.
Kodisi itu membuat kasta waisya dan sudra jadi bagian rakyat yang paling dirugikan. Mangku Alit mengungkap ketidakadilan itu sempat memunculkan perlawanan di mana-mana. Namun, bukan hal mudah menundukkan apa yang Belanda tancapkan. Rakyat Bali seperti berteriak dalam todongan bedil.
“Perlawanan-perlawanan masyarakat Bali terhadap hal-hal ini banyak sekali. Perlawanan itu telah hadir salam catatan sejarah dan lain sebagaimananya. Di tahun 1916 warga Karangasem sempat melakukan sebuah perlawanan terhadap sistem yang dimasukkan dan perkuat oleh tatanan pemerintahan yang di bawahi Belanda. Setelah itu, warga Sukowati juga sudah pernah melakukan perlawanan terhadap sistem ini, tapi semua akhirnya mengalami hal yang kurang baik. Saya mengistilahkan perlawanan itu dengan berteriak dalam todongan bedil,” ungkap Mangku Alit ketika dihubungi, SEAToday.com, 2 Mei 2024.
Pemahaman sistem kasta jadi kaku, seakan-akan terus abadi. Mereka yang merasa berada dalam kategori kasta tinggi merasa perlu menjaga sistem yang bangun Belanda. Sistem kasta itu seakan-akan sebagai sebuah tradisi, adat, dan budaya yang harus dijaga.
Padahal, urusan sistem kasta yang dipahami oleh leluhur orang Bali tidak kaku. Mangku Alit menyebut faktu itu hadir di dalam catatan lontar Wraspati yang notabene jadi penuntut kehidupan orang Bali. Catatan tua itu memberikan gambaran kehidupan orang Bali masa lampa.
Barang siapa yang menjadi rohaniwan (kasta brahmana), belum tentu keturunannya juga brahmana. Mereka harus mempelajari dulu segala hal terkait jadi seorang rohaniwan dan baru menanjak jadi brahmana. Sebaliknya, jika seorang buruh (sudra) bisa belajar dengan urusan rohaniwan.
Ketekunan itu pada satu titik akan berbalas dengan pengakuan mereka sebagai rohaniwan. Alias, mereka dapat menaiki tangga kasta. Begitu pula dengan kasta-kasta lainnya. Semuanya terbuka dan dapat menjadi apa saja.
“Bagaimana Belanda bisa mengatur dan lain sebagainya untuk bagaimana penjajah bisa mempengaruhi pimpinan – kasta brahmana. Kalau pimpinan dipengaruhi, maka otomatis ke masyarakat sistemnya dapat berjalan. Apalagi, mungkin ada kenyamanan dari asupan teologi yang mereka pahami, akhirnya memberikan posisi nyaman buat kedudukan hingga saat ini. Itu bisa jalan,” tambah Mangku Alit.
Mangku Alit mengungkap urusan sistem kasta sekarang yang digambarkan tertutup harusnya bisa terbuka. Penjajahan Belanda sudah berakhir. Masalahnya hanya tergantung kepada mereka yang mau bekerja keras dalam hidup. Meski sistem kasta tertutup tak bisa begitu saja dihapus.