• Wednesday, 13 November 2024

Program Dua Anak Cukup: Biang Keladi Kekurangan Populasi di Singapura

Program Dua Anak Cukup: Biang Keladi Kekurangan Populasi di Singapura
Potret seorang pria dengan jargon program keluarga berencana ala Singapura: Stop At Two -- Dua Anak Cukup | UNESCO/Dominique Roger

SEAToday.com, Jakarta - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Hasto Wardoyo wajibkan satu ibu melahirkan satu anak wanita memunculkan polemik. Ucapan yang segera diklarifikasi itu terlanjur memancing reaksi kemarahan. Pemerintah dianggap mulai mencampuri urusan pribadi.

Polemiklebih parah pernah terjadi di Singapura era 1960-an. Perdana Menteri (PM), Lee Kuan Yew pernah meluncurkan kampanye Stop At Two: dua anak cukup. Suatu program andalan yang banjir kecaman. Begini ceritanya.

Imbas perang dunia II (1939-1945) tak hanya dirasakan negara Eropa saja. Negara-negara di Asia ikut merasakan kesulitan hidup. Singapura jadi contohnya. Kemiskinan sempat merajalela di Negeri Singa. Kondisi itu diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi --Angka kelahiran berkembang pesat. 

Mulanya masalah itu tak jadi pikiran. Namun, belakangan pertumbuhan penduduk malah lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah mulai kelabakan. Mereka mulai menganggap pertumbuhan pendudukan sebagai masalah serius pada 1960-an.

Empunya kuasa sadar benar jika pemerintahan belum siap menghadapi pertumbuhan populasi. Lahan tempat tinggal di Singapura serba terbatas. Lapangan kerja pun tiada beda.  

“Di singapura yang kekurangan lahan, kelebihan penduduk merupakan ancaman abadi, dan angka pengangguran yang tinggi di kawasan kumuh. Kondisi itu membuat mewabahnya banyak penyakit. Selain itu, penarikan pasukan inggris dan perpecahan dari Malaysia mengakibatkan hadirnya pengangguran massal,” ungkap Charles Chao Rong Phua dalam buku Governing Cities: Asia's Urban Transformation (2020).

Pertumbuhan penduduk jika dibiarkan bisa buat Singapura runyam. Negara bakal kelimpungan dan bukan tidak mungkin kolaps. Pengangguran jadi tak terkontrol dan kemiskinan di mana-mana. Pemerintah Singapura menghendaki perubahan. Bagaimana pun caranya.

Dua Anak Cukup

Pemerintah Singapura mencoba merespons. Mereka memikirkan banyak strategi. Ahli-ahli dilibatkan. Namun, strategi yang diambil justru kebijakan tak populer pada 1960-an. Singapura menginisiasi program keluarga berencana bertajuk Stop At Two – Dua Anak Cukup.

Kebijakan Stop At Two mendapat respons negatif. Pemerintah Singapura dianggap mulai mencampuri urusan pribadi warganya. Kebijakan Dua Anak Cukup juga dikritik bak mendahului kuasa tuhan. Pemerintah coba mengatur kapan dan bagaimana wanita harus melahirkan.

Gelora kecaman tak selesai-selesai. PM Singapura Pertama, Lee Kuan Yew pasang badan. Ia bersedia dikritik supaya kebijakan itu berjalan lancar. Lee pun terpikirkan untuk memainkan ajian punishmen and reward.

Barang siapa yang ingin memiliki anak lebih dari dua, maka hidupnya dekat dengan kesengsaraan. Sebaliknya, mereka yang mematuhi hidup dengan dua anak saja akan mendapatkan kemudahan. Wanita yang ingin memiliki anak ketiga atau keempat tak diberikan cuti melahirkan.

Mereka harus membayar biaya persalinan lebih di rumah sakit. Perlakuan berbeda bagi mereka yang hanya ingin mendapatkan dua anak cukup. Mereka diistimewakan. Pemerintah bahkan melegalkan layanan aborsi dan sterilisasi pada 1970.

Wanita Singapura yang melakoni praktek itu akan mendapatkan jatah cuti yang menguntungkan. Anak-anaknya pun akan dapat prioritas ketika masuk sekolah dan mendapatkan segala macam bantuan dari pemerintah setempat.

“Pemerintah memperkuat kampanye dengan pajak dan insentif lainnya untuk keluarga yang lebih kecil. Mereka yang memiliki dua anak, misalnya. Anak dari keluarga tersebut akan mendapatkan keistimewaan dalam bidang pendidikan. orang tua mereka juga memiliki akses mendapatkan rumah lebih baik,” ujar Clotaire Rapaille dalam buku The Global Code (2015).

Poster dengan jargon-jargon khas pemerintah Singapura bertebaran di mana-mana. Jargon itu antara lain Small Families – Brighter Future: Two is enough, The second can wait, dan Please Stop At Two!. Jargon-jargon yang ada sebenarnya mengganggu nurani orang Singapura –terutama kelas pekerja.

Wanita kelas pekerja seakan-akan dipaksa mengikuti anjuran pemerintahan Lee, walaupun kampanye itu berjalan efektif. Laju angka kelahiran berhasil menurun. Pertumbuhan ekonomi pun melejit. Langkah pemerintahan Lee mencampuri urusan warganya di atas kertas berhasil.

Bawa Masalah Baru

Pemerintahan Lee Kuan Yew dan jajarannya boleh berbangga kebijakan Dua Anak Cukup. Kebijakan itu mampu menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Bapak Singapura Modern itu dengan bangga menganggap program Stop At Two tak sia-sia.

Imbasnya muncul belakangan. Singapura justru terancam tak mampu menjaga jumlah penduduk 2,5 juta jiwa di era 1980-an. Laju pertumbuhan penduduk melambat. Angka kelahiran saja hanya menyentuh 42 ribu jiwa. Padahal, Singapura mengharapkan pertumbuhan sebanyak 56 ribu jiwa.

Kondisi itu karena wanita Singapura terpelajar mulai tak ingin menikah dan memiliki anak. Mereka merasa nyaman dengan pekerjaan dan segala rutinitasnya. Sikap yang berbanding terbalik dengan kelas pekerja yang justru paling terbebani dengan kebijakan Stop At Two.

“Pada tahun 1980-an, Singapura mengalami krisis populasi. Populasi wanita muda memiliki pendidikan tinggi memilih tak menikah dan tak mau jadi orang tua,” tegas Michael Haas dalam buku Why Democracies Flounder and Fail (2018).

Pemerintah Singapura dan Lee Kuan Yew seraya menjilat ludah sendiri. Program Dua Anak Cukup yang digembar-gembornya selama 20-an tahun tak lagi jadi unggulan. Mereka bahkan ingin mencoba membatalkannya pada 1986. Lee Kuan Yew tak malu justru berharap warganya mau memiliki anak lebih dari dua.

“Menghadapi paceklik bayi ini, pemerintah banting setir. Slogan dua anak cukup yang sudah puluhan tahun dikerek, ditinggalkan. Kini pasangan suami istri dianjurkan memiliki lebih banyak anak. Untuk itu mereka diberi iming-iming,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Dua Tidak Cukup, 27 September 1986.

Kecaman dan kemarahan muncul dari sana-sini. Pemerintah Singapura –utamanya Lee Kuan Yew—dianggap tak punya urat malu. Orang Singapura merasa kebijakan yang dibuat Lee Kuan Yew selalu menjadikan wanita berada dalam kondisi pesakitan.

Kaum wanita Singapura yang dulunya ingin memiliki banyak anak merasa kecewa. Keputusan Lee mengakhiri kampanye Dua Anak Cukup dianggap bawa petaka. Sebab, aturan itu membuat banyak wanita takut punya anak. Takut didiskriminasi pemerintah dan takut tak mendapatkan hak sebagai warga negara.

 

 

 

 

 

Share
News Update
Prabowo Meets Biden at The White House to Discuss Indonesia-US Diplomatic Ties

Prabowo Meets Biden at The White House to Discuss Indonesia-US Diplomatic Ties

Multiple Accidents on Cipularang Toll Road KM 92 Damaging Numerou...

The collision occurred as the KM 92 area was hit by heavy rain and lightning, which likely contributed to poor visibility and slippery road conditions.

Gibran’s Public Complaint Service Launches at Vice President's Pa...

This news was conveyed by Gibran through an upload via his personal Instagram account @gibran_rakabuming. The upload shows the caption “Lapor Mas Wapres” as well as details of the schedule, address, and complaint contact...

General Election Commission to Advise Regional Authorities on Dec...

Indonesian General Election Commission (KPU) member August Mellaz announced that the KPU would instruct regional offices to issue a formal decision regarding the establishment of a national holiday on November 27, 2024,...

President Prabowo Oversees $10.07 Billion Deal Between Indonesian...

resident Prabowo Subianto attended the signing of a memorandum of understanding (MoU) between Indonesian and Chinese companies, totaling $10.07 billion.

Trending