Sejarah Warteg: Warung Makan Asal Tegal Andalan Pekerja Jakarta Era Orde Lama
SEAToday.com, Jakarta - Khalayak umum kerap beranggapan biaya hidup di Jakarta mahal. Urusan tempat tinggal, transportasi, dan makan saja dapat membuat gaji bulanan amburadul. Namun, hal itu tak sepenuhnya benar. Hidup sebagai pencari rezeki di Jakarta sudah tentu punya siasat supaya pengeluaran tak besar.
Ambil contoh dalam urusan konsumsi. Warung Tegal (Warteg) kerap jadi penyelamat supaya kantong tak kosong. Makanan yang dihidangkan murah meriah, banyak pula jenisnya. Gambaran itu tak pernah berubah dari zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia merdeka. Warteg yang dikelola perantau Tegal jadi primadona banyak orang. Begini ceritanya.
Kemilau Jakarta di Nusantara tiada yang menandingi. Dulu kala status Jakarta yang kala itu bernama Batavia mentereng. Batavia didaulat sebagai pusat kekuasaan dari kongsi dagang Belanda, VOC yang kemudian berganti dengan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Keunggulan itu membuat segala macam pembangunan terpusat di Batavia. Kota berjuluk Ratu dari Timur dianggap unggul dalam segalanya. Batavia memiliki banyak lapangan pekerjaan dan fasilitas mempuni lainnya.
Gaung itu berkembang dari mulut ke mulut. Satu orang saja dari kaum bumiputra sukses, bisa membuat orang lain tergerak masuk ke Batavia.
“Hingga 1940, Batavia memiliki banyak sekolah, rumah sakit, klinik, serta tempat hiburan seperti bioskop dan kolam renang. Sepintas nampaknya westernisasi telah meluas sehingga banyak penduduk yang mampu mendapatkan pendidikan barat, berkonsultasi dengan dokter, serta menonton film Eropa dan Amerika terbaru,” ujar Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2012).
Upaya mencari kehidupan lebih baik di Jakarta dilakukan secara masif. Barang siapa yang merantau ke Batavia, niscaya akan mampu mengubah nasib dan jadi mapan. Mereka datang dari berbagai macam suku bangsa seraya membawa harapan baru.
Warteg Muncul
Perantau dari berbagai wilayah Nusantara berdatangan ke Batavia. Mereka mulai mencoba peruntungan dan menetap. Orang Tegal jadi salah satu di antaranya. Utamanya, mereka yang berasal dari Desa Cabawan, Sidakaton, Kraton, dan Sidapurna.
Mereka yang datang ke Batavia bekerja apa saja. Biasanya kaum laki-laki melakukan pekerjaan berat lainnya -- buruh hingga kuli bangunan. Sisanya kaum istri biasanya ikut membantu meringankan pekerjaan suami dengan membuka sebuah warung.
Kondisi itu terdeteksi kala Indonesia di bawah penjajahan Jepang. Orang Tegal mulai merintis hadirnya warung makan yang kemudian dikenal luas sebagai warteg di Batavia yang berganti nama jadi Jakarta. Harga yang terjangkau membuat warteg jadi buruan.
Warteg jadi penyelamat khalayak untuk mendapatkan makanan dengan harga terjangkau. Sebab, di zaman itu kehidupan rakyat Indonesia serba pas-pasan. Kesuksesaan orang Tegal membuka warteg pun diikuti oleh orang tegal lainnya.
Warteg mulai hadir di beberapa wilayah Indonesia kala Indonesia merdeka. Orang-orang menganggap kehadiran warteg sebagai penyelamat dalam artian sebenarnya. Kala itu bangsa Indonesia baru merdeka. Ekonomi Indonesia tentu morat-marit.
Rakyat yang hidup di Jakarta jelas mencari makan sesuai kantongnya. Gambaran itu membuat nama warteg semakin populer.
“Warno (salah satu perintis warteg) sering mengenang masa kejayaannya di tahun 1950-an. Tatkala wartegnya bisa menjual satu kuintal singkong goreng sehari. Karena keberhasilannya waktu itu, warno bisa menyekolahkan salah seorang anaknya sampai lulus sarjana muda, yang kini menjadi salah satu tokoh warteg di Jakarta,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Biarlah Seribu Warteg Berkembang, 5 Februari 1983.
Pebisnis warteg era itu kebanyakan hidup tak ngotot. Usaha mereka yang lancar membuat pengusaha warteg sering kali pulang ke kampung halaman menikmati hidup. Mereka tak ingin benar-benar menetap di Jakarta. Mereka hanya menganggap Jakarta hanya ladang mencari rezeki, bukan untuk tinggal.
Jakarta Membangun, Warteg Menjamur
Popularitas usaha warteg kian meningkat kala Bung Karno dan Orde Lama mulai giat membangun Jakarta. Pembangunan Jakarta paling digelorakan karena Jakarta jadi tuan rumah Asian Games 1962. Bung Karno tak ingin Indonesia diremehkan.
Bung Karno segera memantapkan pembangunan kompleks olahraga megah di Jakarta. Belakangan orang-orang mengenalnya sebagai Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno (GBK). Bung Karno juga ikut mempersiapkan membangun hotel berbintang dan monumen lainnya.
Urusan dana tak jadi soal. Bung Karno cepat saja menceritakan niatan membangun kompleks olahraga termegah di Asia Tenggara kepada sahabatnya pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev. Bung Karno mengaku kepada Nikita bukan untuk Asian Games belaka, tapi sebagai panggung besarnya berbicara kepada rakyat.
“Di antara para pemimpin negara aku tahu, Soekarno lebih menonjol dalam kapasitasnya menggalang dukungan publik. Bung Karno tak dapat dibandingkan dengan Jawaharlal Nehru. Secara umum Soekarno suka mengumpulkan orang banyak. Ia membutuhkan banyak penonton, dan dengan demikian dia membutuhkan sebuah panggung besar, dan itu adalah stadion, yang pada akhirnya kami bangun,” tegas Nikita Khrushchev dalam buku Memoirs of Nikita Khrushchev Volume 3 (2007).
Dana pinjaman dengan bunga lunak pun diberikan Uni Soviet. Proyek-proyek mulai berjalan dan berimbas pada banyak hal. Tenaga-tenaga kerja dari Jawa Tengah mulai berdatangan menuju Jakarta. Khususnya dari Tegal. Mereka biasanya datang ke Jakarta bersama keluarganya.
Kaum prianya bekerja sebagai kuli bangunan. Kaum wanitanya berusaha menjaga keuangan keluarga dengan membuka warung tegal di dekat lokasi proyek. Opsi itu nyatanya membawa keuntungan. Banyak di antara kuli-kuli memanfaatkan warteg untuk kebutuhan makan sehari-hari.
Pada akhirnya, warteg perlahan-lahan bertumbuh sebagai juru selamat pekerja keras dalam menyambung hidup di Jakarta. Orang Tegal mulai membuka warteg di dekat pangkalan ojek, pangkalan becak, hingga terminal.
Pengusaha warteg pun mencoba menarik minat pelanggannya dengan memajang semua lauk pauk di kotak kaca. Siasat itu membuat warteg terus bertumbuh. Bahkan, organisasi Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) pun hadir pada 1982.
Kehadiran Kowarteg menjadi penanda bahwa warteg di Jakarta sudah mencapai 10 ribu. Suatu jumlah yang terus meningkat. Usaha warteg pun terus lestari hingga hari ini.
Recommended Article
News Update
Erick Thohir Officially Inaugurates New Board for Indonesian Futs...
The formation of the new management for these two federations under PSSI aims to align all stakeholders related to football in Indonesia.
BAZNAS to Build Hospitals, Mosques, Schools in Gaza Recovery Prog...
The funds to be used are the donation funds that are still being held for the Palestinian people. According to him, the donation for Palestine titled “Membasuh Luka Palestina”
Ngurah Rai Airport Expands Access to Nusantara via Balikpapan wit...
General Manager of PT Angkasa Pura Indonesia I Gusti Ngurah Rai Airport Ahmad Syaugi Shahab in Denpasar, on Wednesday (11/20), said this route adds connection opportunities to the State Capital of the Archipelago.
Minister Yusril Clarifies: Mary Jane Veloso Transferred, Not Rele...
Yusril explained that the Indonesian government had received an official request from the Philippine government regarding the transfer of Mary Jane Veloso. The transfer can be carried out if the conditions set by the Ind...
Trending
- # Daily Update
- # Regional
- # Nasional
- # Internasional
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).