Cuma Bung Karno yang Bisa Hilangkan Bau Kolonial Istana Negara
SEAToday.com, Jakarta - Presiden Jokowi melontarkan pernyataan mengejutkan terkait Istana Kepresidenan di Jakarta dan Bogor. Jokowi menyebut Istana Kepresidenan tersebut berbau kolonial. Tiada satu pun yang berasal dari karya anak bangsa. Istana Negara jadi contohnya.
Rumah gedongan yang mulanya bernama Istana Gambir itu pernah jadi pusat kuasa penjajah Belanda hingga Jepang. Namun, Bung Karno datang dan mengubah segalanya. Ia mengubah Istana Gambir jadi Istana Negara. Bung Karno pun mencoba menghilangkan bau kolonialnya. Bagaimana caranya?
Momentum Indonesia merdeka disambut dengan gegap gempita oleh segenap kaum bumiputra. Rakyat Indonesia akhirnya lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Tiada lagi rasisme, tiada lagi diskriminasi. Bangsa Indonesia lalu mencoba berdiri di atas kaki sendiri.
Deru revolusi tak lantas berhenti. Suasana revolusioner itu menjalar ke seantero negeri. Bangsa Indonesia tak ingin diingatkan kembali dengan kejamnya penjajahan. Imbasnya ke mana-mana. Nasionalisme yang berapi-api membuat mereka tak lagi sudi adanya nama, bangunan, monumen, atau penanda lainnya yang berbau kolonial.
Nama-nama jalan berbau kolonial diganti. Keinginan itu dituntaskan dengan penghancuran bangunan atau monumen berbau kolonial dibanyak tempat. Mereka tak lagi peduli dengan bangunan berbau arsitektur unik, apalagi penanda sejarah.
Tiada yang dapat disalahkan. Euforia revolusi kala itu terlalu tinggi. Konon, Rumah Pegangsaan Timur 56 yang menjadi saksi sejarah Proklamasi Kemerdekaan juga dihancurkan karena berbau kolonial.
“Yang lebih hebat adalah kemarahan yang sampai mendorong beberapa orang untuk menghilangkan suasana tata kota kolonial, bangunan-bangunan yang pernah didiami orang Belanda termasuk pepohonan yang mereka dahulu suruh tanam,” ungkap sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (1996).
Hilangkan Bau Kolonial
Penghancuran bangunan peninggalan kolonial memang masif dilakukan. Namun, tak semua bangunan disasar. Beberapa bangunan – rumah gedong pula banyak yang dimanfaatkan kembali untuk keperluan pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan.
Presiden Soekarno yang notabene kurang suka bangunan berbau kolonial justru kepincut menfaatkan Istana Gambir. Ia mulai menampati Istana Gambir pada 1950. Atau bertempatan setelah kedaulatan Indonesia sudah diakui Belanda pada akhir 1949.
Bung Karno menempatkan Istana Gambir dalam posisi teratas bangunan penting untuk pemerintah Indonesia. Ia mengubah nama Istana Gambir peninggalan Belanda jadi Istana Negara. Pemberian nama itu dilakukan karena Bung Karno merasa Istana Negara punya potensi jadi dapur politik Indonesia. Lokasinya strategis pula.
Bung Karno bak memulai misi menghilangkan bau kolonial dari Istana Negara. Ia mulai ikut campur mendandani isi Istana Negara. Barang apa saja yang ada di dalam Istana Negara harus mendapatkan restunya. Tidak boleh tidak.
Bung Besar mencoba menghilang jejak – benda-benda kolonial. Istana Negara diisinya dengan sederet karya seni karya seniman dalam dan luar negeri. Bung Besar berpikir Istana Negara harus memuat roh kebudayaan dan kesenian. Sebab, Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai seni.
“Istana Negara menggambarkan watak dan pikiran kebudayaan Indonesia: memelihara dan mengagungkan milik Indonesia, serta selalu mengapresiasi yang datang dari mancanegara. Soekarno meletakkan dasar kurasi pemajangan ini,” ujar Agus Dermawan T. dalam buku Dari Lorong-Lorong Istana Presiden (2019).
Perkerjaan itu tentu tak dilakukan satu dua hari. Bung Karno membutuhkan waktu panjang. Ia juga tak dapat sendirian dalam hal mengkurasi karya-karya seni. Apalagi, kriteria yang ditetapkan Bung Karno tentu berselera tinggi.
Totalitas Kurasi Karya
Soekarno pun mulai melirik tenaga seniman kenamaan Indonesia untuk membantunya mereduksi bau kolonial Istana Negara. Bung Karno memilih pelukis ternama Indonesia, Dullah. Soekarno mempercayakan urusan kurasi benda seni, utamanya lukisan kepada Dullah.
Dullah pun menikmat tugasnya melakukan kurasi. Ia dengan lihai menentukan lukisan pemandangan dan alam lingkungan yang layak dipajang. Lukisan yang dikurasinya juga berasal dari seniman ternama: Basoeki Abdullah, Henk Ngantung, S. Sudjojono, hingga maestro Raden Saleh.
Arca-arca dari porselen dan perunggu juga dikumpulkannya. Benda-benda itu coba ditempatnya di dalam Istana Negara. Namun, pekerjaan itu tak mudah bagi Dullah. Dullah juga tak hanya bertindak sebagai kurator belaka. Dullah turut pula melakukan restorasi.
Suatu hal lainnya membuat pekerjaan sulit adalah Dullah dan Bung Karno kadang memiliki selera berbeda. Belum lagi koleksi lukisan yang dimiliki Bung Karno bejibun. Pekerjaan itu jadi menyulitkan karena dinding Istana Negara terbatas. Kondisi itu kemudian memaksa Dullah menempat lukisan ke Istana Kenegaraan lainnya.
“Untuk kemudian menyeleksi, memajang di dinding-dinding Istana Negara, Istana Merdeka, Gedung Agung Yogyakarta, Istana Bogor, sampai Istana Tampaksiring. Merestorasi lukisan-lukisan yang luka. Lalu mendisplai lagi dan seterusnya. Di luar itu, Dullah sering diajak Bung Karno mencari lukisan, mendekati pelukis, berdiskusi seni,” ujar Agus Dermawan T. dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010).
Tugas tambahan untuk menghilangkan bau kolonial terus bertembah. Bung Karno kerap mengajak Dulllah untuk mencari lukisan atau karya seni lainnya untuk memperindah istana. Seniman-seniman yang ditemui berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Lukisan-lukisan yang terbaik segera di beli Bung Karno. Bahkan, Bung Karno terus mendukung iklim kesenian bertumbuh. Pemerintah bersedia mendukung kegiatan semacam itu. Lukisan-lukisan yang tak dikurasi untuk Istana Negara tentu tetap digunakan.
Biasa lukisan itu digunakan kala ada perjamuan resmi di Istana Negara. Lukisan itu akan dipajang di ruang jamuan sebagai dekorasi. Kemudian, biasanya ditambahkan pula dengan keterangan protocol-officer bahwa beberapa dari lukisan dibuat oleh Soekarno sendiri.
Upaya Bung Karno menghias Istana Negara dianggap berhasil. Detail-detail karya seni yang dihadirkan di Istana Negara seraya menambah daya tarik. Nilai berita suatu pertemuan jadi tinggi. Karya-karya seni itu mampu menarik perhatian tamu undangan. Kemudian, orang-orang jadi lupa Istana Negara peninggalan kolonial.
Recommended Article
News Update
Criminal Investigation Agency Question Cooperatives Minister Budi...
Budi Arie Setiadi, current Minister of Cooperatives, questioned by Kortastipidkor regarding undisclosed matters. Investigation linked to past scandals.
Light Rain Expected Across Most of Jakarta
The BMKG forecasts light rain for most areas of Jakarta and the Thousand Islands on Thursday, (12/19/2024).
OIKN Targets Legislative, Judicial Buildings to be Completed in...
The Nusantara Authority (OIKN) is targeting the construction of legislative and judicial infrastructure to be completed by 2028.
The Ministry of Foreign Affairs Confirms No Indonesian Citizens A...
The Indonesian Ministry of Foreign Affairs has confirmed that no Indonesian citizens (WNI) were victims of the 7.3-magnitude earthquake that struck Vanuatu on Tuesday, December 17, 2024
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).