Bau Kolonial Istana Kepresidenan: Dari Istana Gambir ke Istana Negara
SEAToday.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap Istana Negara punya bau kolonial. Pandangan Jokowi bersandar karena bangunan Istana Negara dibangun pada era penjajahan Belanda. Alias bukan buah karya anak bangsa. Jokowi merasa tak pernah nyaman berada di Istana Negara.
Soal itu memang tak dapat didebat. Dulu kala Rijswijk Paleis (Istana Gambir) merupakan rumah gedong milik orang kaya di zaman penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu mencoba jadikan Istana Negara jadi pusat kuasa politik. Bung Karno tak mau kalah. Bung Besar segera mengubah Rijswijk Paleis (Istana Gambir) jadi Istana Negara. Apa alasannya?
Penjajahan mampu menyulap Jayakarta jadi Batavia. Kota itu lalu menjadi pusat pemerintahan dari kongsi dagang Belanda, VOC. Mereka membangun suatu kota cantik di dekat lautan – Oud Batavia (sekarang: kawasan Kota Tua) dengan selera khas orang Belanda.
Kota Batavia pun dikelilingi benteng yang berfungsi menangkal serangan dari kerajaan lokal dan binatang buas. Perlahan-lahan hidup di Batavia bawa kebosanan dan ketakunan. Kebosanan karena kehidupan, bisnis, dan hiburannya monoton.
Ketakutan karena iklim dekat laut mulai tak bersahabat. Orang belanda percaya iklim buruk itu kian memperpendek usia orang Belanda. Opsi tinggal di kawasan luar tembok Batavia, Ommelanden mulai dijajaki.
Kompeni pun tak tinggal diam. Mereka mencoba mengamankan segala macam kepentingan warganya. Keamanan ditingkatkan. Kompeni juga mencoba mengajak perdamaian dengan kerajaan setempat: Kesultanan Banten.
Situasi itu membuat pegawai Kompeni mulai membangun rumah gedong. Vila-vila megah dibangun sebagai tempat liburan, menikmati hidup, dan pamer kekayaan.
“Perjanjian yang ditandatangani dengan Banten pada 1684 yang menjamin Batavia dari serangan dunia luar. Yang kedua adalah perubahan lingkungan Batavia menjadi lahan perkebunan. Semakin banyaknya tumbuhan besar di sekitar Batavia memperkecil ancaman terhadap kehidupan dan properti dari binatang liar dan budak yang kabur,” ungkap sejarawan Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
Istana Gambir
Pejabat Kompeni hingga kemudian berganti jadi pejabat Hindia Belanda doyan membangun rumah peristirahatan di luar tembok Batavia. Mereka berlomba-lomba membangun yang lebih besar dan megah sebagai simbol kekayaan.
Jacob Andries van Braam ikut dalam euforia pembangunan. Ia kepincut membangun rumah gedong di kawasan Rijswijk (sekarang: Gambir). Pembangunan itu berjalan pada 1796. Van Braam mencoba mengadirkan vila yang nyaman dengan gaya klasisisme tertutup.
Tiada keterangan siapa arsitek yang merancang bangunan. Namun, rumah bertingkat dua langsung mengarah kepada sebuah lapangan bernama Koningsplein (kini: Lapangan Monas). Kehadiran vila luas itu kerap dikagumi orang-orang yang kebetulan lewat.
Kekaguman itu kian bertambah karena pemerintah kolonial memindahkan pusat kuasanya dari Oud Batavia ke Nieuw Batavia (sekarang: kawasan Lapangan Banteng). Kawasan Rijswijk menjelma jadi kawasan elite. Satu demi satu rumah dihadirkan mendampingi rumah Van Braam.
“Pada awal abad ke-19, warga Belanda beramai-ramai meninggalkan Kota Lama (Kota Tua) di Pasar Ikan, yang dianggap sumpek dan sarang penyakit. Rijswijik (Jalan Veteran) Dan Noordwijk (Jalan Juanda) saat itu lantas menjadi kawasan paling elite di Batavia,” tegas sejarawan Alwi Shahab dalam buku Betawi: Queen of the East (2002).
Rumah Van Braam lalu menjelma layaknya ikon Rijswijk karena indah dan megahnya. Belakangan Belanda kepincut. Mereka ingin membeli rumah itu dan berhasil pada 1821.
Pemerintah ingin menjadikan rumah itu sebagai tempat singgah Gubernur Jenderal bila berurusan ke Batavia. Kondisi itu karena Gubernur Jenderal memiliki istana yang megah lainnya dengan iklim yang bersahabat di Buitenzorg (sekarang: Bogor). Minim, pemimpin Belanda berkantor tiap hari Rabu.
“Rumah van Braam atau Istana Gambir dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels (sekarang Gedung A.A. Maramis, Kementerian Keuangan) di Lapangan Banteng belum selesai. Baron van der Capellen ialah Gubernur Jenderal yang pertama tinggal di istana ini,” ujar Sejarawan Adolf Heuken dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016).
Renovasi banyak dilalukan pada 1848. Kondisi lantai dua bangunan yang mau runtuh kemudian sengaja dihancurkan. Istana Gambir pun jadi hanya menjadi memiliki satu lantai. Bagian depan dimajukan. Gedung-gedung kecil pun turun dibangun di sisi kiri-kanan.
Bangunan itu sebagai rumah dari kusir kuda atau pegawai lainnya. Oleh Belanda tempat tersebut malu-malu disebut Istana Gambir. Mereka lebih suka menamakannya sebagai Hotel van den Gouverneur-General. Mereka menganggap istilah istana kurang tepat, karena Belanda memiliki Istana Putih.
Dari Istana Gambir ke Istana Negara
Pesona Istana Gambir tak lantas hilang di era penjajahan Jepang (1942-1945). Jepang menyita bangunan dan diperuntukan untuk kepemimpingan penjajahan, termasuk untuk hajatan penobatan hingga jamuan makan malam tamu penting.
“Malam ini, jam delapan akan diadakan perjamuan di Istana dengan mengadakan pertunjukkan film juga, sedang besok kedua tamu itu akan mengunjungi Tanjung Priok, lapangan terbang, sekolah-sekolah,” tertulis dalam majalah milik pemerintah Jepang, Kan Po edisi 1 tahun 1942.
Bangunan itu tetap saja tak disentuh kala Indonesia merdeka. Pemerintah Indonesia masih sibuk membangun republik dan belum fokus urusan bangunan. Apalagi, setelahnya pemerintah Indonesia memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1947.
Istana Gambir baru benar-benar digunakan oleh Indonesia kala Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949. Presiden Indonesia Bung Karno lalu secara resmi menempati Istana Gambir untuk keperluan pemerintahan pada awal tahun 1950.
Ia kemudian mengganti namanya jadi Istana Negara. Keputusan itu mengejutkan karena pada era Bung Karno banyak bangunan peninggalan kolonial yang dihancurkan. Namun, Bung Karno menganggap Istana Negara istimewa dan dijadikan dapur politik Indonesia.
Ia dengan insting seninya menghias Istana negara dengan ragam karya seni: patung, lukisan, hingga arca. Soekarno menjadikan Istana Negara sebagai simbol kuatnya tekad bangsa Indonesia jadi bangsa besar.
“Agar dapur politik itu punya martabat, ia menaruh roh kebudayaan dan kesenian di dalamnya. Maka ia pun meletakkan patung perunggu karya Zsigmond Kisfaludi Strobl di depannya. Patung monumental ini menggambarkan seorang lelaki sedang memanah,” ungkap Agus Darmawan T. dalam buku Dari Lorong-lorong Istana Presiden (2019).
Diakui atau tidak, Istana Negara menjadi simbol besar kekuasaan Indonesia, seperti kata Bung Karno sebagai dapur politik Indonesia. Banyak kejadian bersejarah lahir di Istana Negara. Banyak tamu besar juga disambut di tempat yang sama. Tiada yang mempermasalahkan bangunan Istana negara dibangun era kolonial karena asas kemanfaatan. Sederet pemimpin Indonesia, kecuali Jokowi merasakan nyaman-nyaman saja dengan Istana Negara yang punya nilai historis besar.
Recommended Article
News Update
President Prabowo Receives Credentials from Seven Newly Appointed...
On Monday (11/4), President Prabowo Subianto received Letters of Credence from seven Ambassadors Extraordinary and Plenipotentiary at the Merdeka Palace.
Jakarta Government to Fund Tuition, Supplies, and Fees for Select...
Acting Head of the Jakarta Education Agency, Purwosusilo, recently announced that the city’s free private school program will not only eliminate tuition and registration fees but also cover essential equipment for studen...
Mount Lewotobi Eruption Shuts Down Four Airports, Disrupting Regi...
The Indonesian Aviation Navigation Service Provider Corporation (LPPNPI) or AirNav Indonesia’s Kupang Branch has announced that four airports on Flores Island, East Nusa Tenggara (NTT), are temporarily closed following t...
Eastern Spain Flash Floods Kill Over 200 People
Flash floods that swept Eastern Spain on Tuesday (10/29) evening and early Wednesday had killed at least 217 people with dozens still missing, said Prime Minister Pedro Sanchez on Saturday (11/2).E
Trending
- # Daily Update
- # Regional
- # Nasional
- # Internasional
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).