Sosok Penjajah Belanda yang Kutuk Keras Aborsi Era VOC: Jan Pieterszoon Coen
SEAToday.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 pada 26 Juli 2024. PP Kesehatan yang baru ini menegaskan pemerintah mengizinkan praktik aborsi bersyarat. Aborsi boleh dilakukan jika ada kehamilan yang punya indikasi darurat medis.
Aborsi pun dibolehkan kepada korban tindak pidana perkosaan. Masalah aborsi ini sebenarnya bukan barang baru. Dulu kala kegiatan aborsi pernah melonjak tajam di era kongsi dagang Belanda, VOC. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen mengutuk keras kegiatan aborsi. Bagaimana bisa?
Kompeni pernah kekurangan populasi wanita Eropa/Belanda di pusat kuasanya Batavia (sekarang: Jakarta). Kekurangan itu karena pejabat tinggi hingga rendah Kompeni didominasi kaum laki-laki. Jikalau ada kaum wanita Belanda yang datang mereka terbatas pada istri atau keluarga dari pejabat tinggi.
Realitas itu membuat jengah Jan Pieterszoon Coen. Gubernur Jenderal VOC yang menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) itu menganggap pusat kekuasaan Kompeni di Batavia harus dihuni orang Belanda yang relijius dan bermartabat.
Coen sebagai seorang taat agama –Calvinisme taat seraya meramalkan ketiadaan wanita dapat membuat pejabat Kompeni melegalkan seks bebas. Sebab, berahi sudah tak tertahankan. perzinahan dan kegiatan asusila bisa merusak moral orang Belanda di Batavia.
Pria kelahiran Hoorn, 8 Januari 1587 tak mau hal itu terjadi. Ia mencoba menghubungi petinggi Kompeni di Belanda, Heeren Zeventien (Dewan 17). Coen secara khusus meminta mereka mengirimkan banyak wanita kelas atas atau dari kalangan keluarga baik-baik.
Keinginan itu supaya wanita yang datang dapat menjelma jadi penentu munculnya generasi emas Belanda di Nusantara. Kedatangan wanita itu dianggap Coen sebagai penentu supaya kegiatan buruk macam perzinahan tak menjamur.
“Coen tak sabar karena empat tahun sesudah menaklukkan Jacatra, pertumbuhan penduduk kota kolonial Batavia dirasakan terlalu lambat. Kepada Dewan 17, dewan pimpinan tertinggi VOC di Belanda, Coen memperingatkan, apabila pembangunan tanah jajahan tidak dilakukan secepatnya dan sesuai aturan serta arahan yang baik, VOC tidak akan dapat bertahan dan perdagangan di Hindia Timur akan runtuh,” ungkap Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Bangun Pemukiman Beradab
Semangat Coen menggebu-gebu untuk menciptakan pemukiman beradab di Batavia. Namun, keinginannya seraya angan-angan belaka. Dewan 17 memang mendengar keinginan Coen. Mereka pun mengirimkan apa yang diminta oleh Coen: Wanita Eropa.
Bedanya wanita yang dikirim mereka bukan berasal dari keluarga beradab. Coen harusnya berpikir tiada gadis dari keluarga kaya akan diizinkan untuk pergi ke Nusantara. Apalagi, dengan kehidupan tanpa ikatan. Mereka boleh saja bisa bertahan dari perjalanan laut ke Nusantara berbulan-bulan, tapi keluarganya akan mengekang.
Kondisi itu membuat Dewan 17 mengirim Wanita dari kalangan kaum miskin dan yatim piatu. Itupun jumlah yang dikirim tak banyak. Banyak pula wanita Belanda yang terjebak jadi wanita tuna sosial.
Mimpi Coen dianggap Dewan 17 terlalu besar untuk diwujudkan. Padahal, Coen sudah berusaha menyiapkan segala macam keperluan dan bonus bagi wanita yang datang.
“Gadis-gadis yang dikirim mendapatkan satu setel pakaian dari VOC, dan nantinya akan menjadi kebiasaan untuk memberikan setiap wanita emas kawin sebelum mereka menikah. Mereka tak menerima gaji, tetapi menandatangani kontrak seperti pegawai VOC, yaitu kontrak yang menikat mereka untuk menetap selama lima tahun. jika mereka sudah menikah, mereka diwajibkan untuk tinggal selama 15 tahun,” ungkap Sejarawan Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
Coen terus berusaha mewujudkan mimpinya. Realita terus berkata lain. Kehadiran wanita Eropa yang sedikit itu tak dapat membantu perilaku pegawai Kompeni. Hasrat mereka akan perzinahan tak tertahankan dan perbuatan asusila sulit dikendalikan.
Mereka tak peduli lagi urusan moral. Satu-satunya yang mereka pahami –pegawai VOC dan warga bebas—adalah menikmati hidup selagi di Batavia. Mereka tak jarang jadi pelanggan tetap rumah pelacuran. kalau pun tidak, mereka lebih memilih membeli budak wanita dan dijadikan gundik.
Aborsi Meningkat
Hubungan tanpa ikatan pernikahan dengan gundik banyak diadaptasi oleh orang Belanda di Batavia. Mereka mengambil wanita jadi gundik dari kalangan budak sengaja dijadikan macam selir. Bedanya Gundik itu memiliki tugas yang tak sedikit. Mereka dibeban tugas menjaga rumah dari urusan dapur hingga kasur.
Hidup bersama gundik pun menjadikan kehidupan penuh skandal di Batavia. Moral orang Belanda anjlok. Mereka tak lagi dekat dengan agama, tapi mengikuti nafsu bekerja. Hidup gundik sendiri tak pernah jelas.
Mereka tak pernah diakui sebagai istri dan anak-anak yang lahir dari rahimnya tak pernah diakui sebagai orang Eropa. Kondisi itu membuat banyak pegawai Kompeni yang memutuskan untuk melakukan aborsi. Kehidupan itu membuat Coen berang bukan main.
Praktek pergundikan dan pelacuran dianggap tak sesuai dengan norma orang Belanda yang beradab. Praktek itu hanya memulus nafsu belaka. Kala hubungan itu membuahkan kehamilan orang Belanda buru-buru melakukan aborsi. Pemandangan aborsi di Batavia jadi sangat mengkhawatirkan.
Coen meminta anak buahnya untuk mengontrol nafsu dan mendekatkan diri dengan agama. Apa daya wanita Belanda terbatas. Mereka ambil jalan pintas dengan menggauli budak atau gundiknya.
Coen ambil sikap. Ia memulai bertindak keras. Ia mengutuk keras aborsi karena bertentangan dengan norma agama. Barang siapa yang kedapatan memiliki gundik atau budak wanita akan diberikan hukuman berat. Langkah itu diambil Coen untuk mengontrol praktek asusila di Batavia pada 1620.
“Siapa saja yang tinggal di lingkungan jurisdiksi Batavia untuk memelihara budak wanita atau gundik di rumah yang bersangkutan maupun di tempat lain tanpa alasan apapun akan dihukum. Terlalu banyak kasus aborsi dan kasus percobaan pembunuhan majikan oleh gundiknya dengan menggunakan racun,” tegas Coen ditulis Sejarawan Mona Lohanda dalam buku Sejarah Pembesar Mengatur Batavia (2007).
Aturan lebih keras kembali dikeluarkan Coen pada 1622. Coen menambahkan pasal-pasal yang menyebutkan bahwa peraturan tersebut berlaku untuk semua pria dengan jabatan apapun. Pejabat atau kelas serdadu semua dipukul rata.
Mereka tak boleh melakukan perzinahan dan aborsi. Apalagi, berhubungan badan dengan orang di luar agamanya. Hukuman yang ditawarkan tentu saja berat. Bahkan, hingga hukuman mati. Hal itu jadi bukti bahwa Kompeni justru telah melakukan tindakan preventif, ketimbang memberi izin aborsi.
Recommended Article
News Update
Transjakarta Launches Open-Top Double-Decker Bus Tour, Let's Expl...
Transjakarta has unveiled its latest innovative offering, the Open Top Tour of Jakarta. This open-top double-decker bus service aligns with the city’s vision of becoming a global destination by enhancing its appeal as a...
91 Indonesians Successfully Evacuated from Syria, Safely Arrived...
The Ministry of Foreign Affairs has successfully evacuated 91 Indonesian citizens from Syria on December 20 and 21, 2024. The evacuation was divided into three flights.
Criminal Investigation Agency Question Cooperatives Minister Budi...
Budi Arie Setiadi, current Minister of Cooperatives, questioned by Kortastipidkor regarding undisclosed matters. Investigation linked to past scandals.
Light Rain Expected Across Most of Jakarta
The BMKG forecasts light rain for most areas of Jakarta and the Thousand Islands on Thursday, (12/19/2024).
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).