Indonesia Disebut Paling Berkontribusi Terhadap Polusi Udara Global

Indonesia Disebut Paling Berkontribusi Terhadap Polusi Udara Global

Seatoday.com, Jakarta Polusi udara di Indonesia sempat menggegerkan seluruh warga Indonesia. Kini, permasalahan tersebut semakin banyak dibicarakan setelah dilihat semakin parahnya polusi di Indonesia dan adanya laporan yang diberikan oleh Laporan Indeks Kualitas Udara Kehidupan (AQLI) yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan satu dari enam negara yang paling berkontribusi terhadap polusi udara tingkat global. Kemudian, dikabarkan sejumlah kelompok masyarakat sipil tengah berencana menggugat perwakilan kelompok atau class action dikarenakan persoalan polusi udara yang kian memburuk. Dikatakan Indonesia bersama dengan sejumlah negara lain yakni China, India, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria menyumbang 75% dari total beban polusi udara global karena jumlah populasi yang besar dan polusi udara yang cukup tinggi.

 

Pendiri riset AQLI, Michael Greenstone, bersama dengan beberapa rekannya dari Institut Kebijakan Energi (EPIC) universitas Chicago mengatakan tiga perempat dari dampak polusi udara terhadap angka harapan hidup tingkat global berasal dari enam negara yaitu Bangladesh, India, Tiongkok, Pakistan, Nigeria, dan Indonesia, yang di mana orang-orang kehilangan satu hingga lebih dari enam tahun usia dari hidup mereka akibat dari udara yang mereka hirup. Perhitungan angka harapan hidup terdapat di dalam laporan AQLI merupakan gabungan dari dua penelitian yakni Chen et al. (2013) dan Ebenstein et al. (2017) yang bereksperimen alami di China untuk melakukan penentuan dampak pencemaran udara pada angka hidup atau life expectancy. Dalam riset tersebut ditemukan bahwa seseorang yang terpapar polutan halus di dalam udara sebanyak 10 µg/m3 (PM 2,5) dapat mengurangi angka harapan hidupnya sampai dengan 0,98 tahun. Menurut dari laporan yang diberikan tersebut, di Bangladesh yang merupakan negara dengan tingkat polusi tertinggi pada 2021, usia hidup warganya mampu berkurang mencapai 6,8 tahun akibat pencemaran polusi udara PM2.5 yang terlampau jauh melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

 

Menanggapi hal tersebut, juru bicara Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, menilai kesimpulan dari hasil studi yang digunakan sebagai tolak ukur AQLI itu masih membutuhkan pengkajian lebih dalam sebelum akhirnya bisa ditentukan kebenarannya. Dikhawatirkan hanya menjadi asumsi semata.