• Friday, 18 October 2024

Ki Hajar Dewantara dan Honoris Causa: Contoh Gelar Kehormatan Diberikan ke Orang yang Tepat

Ki Hajar Dewantara dan Honoris Causa: Contoh Gelar Kehormatan Diberikan ke Orang yang Tepat
UGM Anugerahkan gelar Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara yang disaksikan Presiden Soekarno pada 1956 | UGM

SEAToday.com, Jakarta - Raffi Ahmad boleh berbangga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa bidang Event Management and Global Digital Development dari Universal Institute of Professional Management (UIPM). Namun, tidak dengan warganet.

Kampus yang memberikan gelar kehormatan dipertanyakan eksistensinya. Beberapa mencurigainya kampus abal-abal. Dulu kala urusan pemberian gelar tak boleh sembarang. Kampusnya yang memberikan minimal punya reputasi besar. Ambil contoh Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memberikan gelar doktor honoris causa kepada Ki Hajar Dewantara. Begini ceritanya.

Tokoh pers nasional, Rosihan Anwar kerap memisahkan terkait karakter perjuangan Soekarno muda dan Soekarno tua. Maka tiada yang tak mungkin untuk memisahkan terkait Ki Hajar Dewantara muda dan tua.

Dulu kala nama Ki Hajar Dewantara belum dikenal. Pria kelahiran Pakualaman, 2 Mei 1889 itu dikenal luas sebagai Soewardi Soerjaningrat. Ia kerap digambarkan sebagai anak muda ningrat yang peka nan radikal. Ia memahami penjajahan Belanda bawa banyak mudarat.

Kaum bumiputra diperlakukan bak tak punya harga diri. Rasismenya hadir di mana-mana. Perlakuan orang Belanda ke bangsanya itu buat darahnya sering mendidih. Barang siapa yang mengganggu kaum bumiputra, niscaya Soewardi akan pasang badan.

Perkelahian kadang kala tak terhindarkan. Nyali itu muncul pula kala ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra, STOVIA di Batavia (kini: Jakarta). Ia bergabung dengan Budi Utomo. Ia juga disibukkan berjuang dengan medium baru: tulisan.

Puncaknya, ia mementingkan perjuangan ketimbang pendidikan. Ia keluar dari STOVIA. Ia keluar pula dari Budi Utomo yang dianggap organisasi elitis. Soewardi ke Bandung bergabung dengan dua rekan seperjuangannya, Ernest Douwes Dekker (DD) dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

“Putra Pangeran Soerjaningrat dari Istana Pakualaman ini pindah ke Bandung pada tahun 1912, bergabung dengan koran De Expres sebagai editor di bawah asuhan DD, dan muncul sebagai pahlawan radikal muda brilian,” ujar Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Triumvirat itu membangun Indische Partij (Partai Hindia) pada 1912. Keberanian Ernest, Tjipto dan Soewardi mengkritik penjajah Belanda terus dilakukan lewat corong koran De Expres. Ketiganya jadi orang yang paling dicari penjajah Belanda. Ketiganya pun diasingkan ke Belanda pada 1912.

Senjata Baru: Pendidikan

Perjuangan Soewardi di tanah pengasingan tak lantas padam. Ia terus melakukan gebrakannya. Ia larut dalam aktivitas menulis kesadaran terkait kemerdekaan sebagai pers. Namun, kehidupan di Belanda tak mudah. Ia dipaksa keadaan mencari tambahan lainnya supaya dapat menghidupi keluarga di Belanda.

Ia memang sudah aktif sebagai jurnalis. Namun, ia mulai melirik ke dunia baru. Dunia pendidikan. Pekerjaan sebagai pendidik dianggapnya mampu mendatangkan pundi-pundi pendapatan besar. Ia iseng ikut sekolah guru di Belanda dan berhasil.

“Di samping kesibukannya mengurus persoalan pers, Soewardi masih juga menyempatkan diri untuk mengikuti pelajaran di Lager Onderwijs. Sekolah guru tersebut diselenggarakan oleh Menteri Dalam Negeri di s-Gravenhage. Akhirnya pada 12 Juni 1915, dia mendapatkan ijazah yang disebut yang disebut Akte bekwaamheid als Onderwijezer (Ijazah Kepandaian Mengajar),” ujar Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (2019).

Dunia pendidikan yang awalnya iseng-iseng justru diseriusinya. Soewardi belakangan merasa tak cocok ambil bagian dalam bidang politik. Ia merasa jadi orang yang impulsif dan cepat naik darah jika berjuang lewat politik. Siasat perjuangan supaya Indonesia merdeka lalu dialirinya lewat jalur pendidikan.

Keinginan itu kian kokoh karena Soewardi mulai mendalami tokoh-tokoh pendidikan macam Rabindranath Tagore hingga Maria Montessori. Soewardi pun berpandangan bahwa pendidikan bisa jadi alat perjuangan yang ampuh. Paling tidak, sebagai bentuk perjuangan melawan kebodohan.

“Dia menjadi terpesona oleh tren baru di sekolah-sekolah barat dan pendidikan dasar yang maju oleh Montessori, Froebel, Dalton Plan, dan Tagore (di Bolpur, India), yang menekankan seni dan perkembangan karakter,” ujar Paul van der Veur dalam buku The Lion and the Gadfly: Dutch Colonialism and the Spirit of E.F.E. Douwes Dekker (2021).

Pendidikan dianggap Soewardi sebagai senjatanya yang baru. Pendidikan dapat jadi jalan meninggikan derajat kaum bumiputra. Langkah itu coba diadaptasinya suatu hari nanti kala kembali ke Nusantara. Ia ingin kaum bumiputra dapat bebas merdeka dengan pendidikan.

Doktor Kehormatan

Kepulangan Soewardi ke tanah kelahirannya disambut dengan gegap gempita pada 1919. Pejuang kemerdekaan berharap ia masih menggebu-gebu melawan penjajah Belanda dengan cara yang lama: perlawanan radikal.

Jauh panggang dari api, Soewardi sudah jadi sosok yang berbeda. Ia tak lagi menggebu. Ia berubah jadi bijaksana. Soewardi mengabdikan diri sepenuhnya dalam medium pendidikan. Ia dan kawan-kawannya mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922.

Soewardi yang kian tua mulai mematangkan metode Montessori-Tagore yang dimodifikasinya sesuai karakter kaum bumiputra. permainan dan lagu anak-anak diganti dengan yang bersifat nasional. Soewardi lalu memberikan penguatan kepada sosok guru.

Sebagai bentuk keseriusannya, Ia kemudian mengganti namanya dari Soewardi Soerjaningrat ke Ki Hajar Dewantara pada 1928. Perubahan namanya bak membuang sisi kebangsawanannya dan menjadi murni sebagai pendidik. Sekolah gagasannya Taman Siswa terus berkembang dan bertumbuh di mana-mana.

Pejuang kemerdekaan banyak memuji langkah Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan. Puncaknya, Ki Hajar Dewantara jadi Menteri Pendidikan Indonesia pertama kala Indonesia merdeka. Taman Siswa buatannya lalu jadi fondasi pendidikan di seantero Indonesia.

Sumbangsih besar itu membuat UGM kepincut. Sebagai apresiasi mereka menganugerahkan Ki Hajar Dewantara gelar doktor kehormatan (honoris causa) bidang Ilmu Kebudayaan pada 19 September 1956.

Penganugerahan itu berlangsung di Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta. Acara itu kian spesial karena Presiden Soekarno ikut menyaksikan langsung prosesinya. Ki Hajar Dewantara pun berpesan dalam pidatonya supaya teliti dalam mengadopsi elemen pendidikan untuk bangsa Indonesia.  

“Indonesia bukan Nederland, bukan Inggris, bukan Amerika. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Padang, bukan Amsterdam, Leiden, Utrecht, Groningen, bukan juga London, Cambridge, bukan juga kota-kota universitas Amerika. Memang benar, kita harus meniru segala apa yang baik dari negeri manapun. Ambilah sifat-sifat dasar yang ada di seluruh dunia, yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan nasional kita.,” ungkap Ki Hajar Dewantara dalam pidatonya.

Pemberian dokter kehormatan itu jadi bukti bahwa pemberian gelar doktor kehormatan tak dilakukan secara sembarangan. Lembaga yang memberikan pun terhitung bonafit. Khalayak umum pun jadi tak meragukan kapasitas kampus yang memberikan gelar doktor kehormatan.

 

Share
News Update
11 Females Figures List to Join Prabowo's Cabinet

11 Females Figures List to Join Prabowo's Cabinet

UN: Israel Denies 85 Pct. Aid Movement to Northern Gaza

The UN warned that conditions in Northern Gaza had reached “catastrophic” as the Israeli military is “severely compromising people’s access to means of survival”, Tuesday (10/15).

UNICEF: Israeli Attack on Gaza Hospital's Refugee Camps Shocks th...

The United Nations Children's Fund (UNICEF) condemns Israel's attack on refugee tents on the grounds of the Al Aqsa Martyrs Hospital in the Gaza Strip on Sunday (10/13), as a world-shaking tragedy.

KSP Moeldoko Praises President Jokowi’s Achievements During 10 Ye...

Indonesian Presidential Chief of Staff (KSP) General (Ret.) Moeldoko praised the achievements of President Joko “Jokowi” Widodo.

WHO: 72 Patients, Medical Staff Killed in Israeli Attack in Leban...

The World Health Organization (WHO) on Wednesday (10/16) released a statement saying that 72 medical workers and patients have been killed and 43 others injured by Israeli attacks in Lebanon.

Trending