• Saturday, 23 November 2024

Nenek Moyangku Seorang Pelaut: Jejak Jung Jawa 'Si Kapal Raksasa' di Lautan Nusantara

Nenek Moyangku Seorang Pelaut: Jejak Jung Jawa 'Si Kapal Raksasa' di Lautan Nusantara
Sebuah Jung Jawa (kapal raksasa Nusantara) dengan empat tiang sedang dikejar oleh kapal Portugis. Gambar itu hadir dalam peta Nuño García de Toreno tahun 1522 | Nuno Garcia de Toreno

SEAToday.com, Jakarta - Lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut sangat populer di Nusantara. Karya cipta pencipta lagu legendaris Saridjah Niung (Ibu Sud) itu dianggap mampu membawa ingatan bahwa orang Indonesia terampil sebagai pelaut.

Namun, Indonesia tak cuma dikenal sebagai gudangnya pelaut handal dengan kemampuan navigasi mempuni. Orang Indonesia juga terampil sebagai pembuat kapal. Dulu kala, cipta rasa karsa nenek moyang bangsa Indonesia dapat menghadirkan kapal ‘raksasa’ yang dikagumi dunia: Jung Jawa. Begini ceritanya.

Perdagangan dan pelayaran merupakan ciri khas kehidupan tempo dulu di Nusantara. Keadaan itu ditunjang dengan lahirnya kerajaan-kerajaan kecil. Tiap kerajaan biasa memiliki komoditas pertanian andalannya masing-masing.

Banten dengan ladanya. Demak dengan berasnya. Keduanya hanya contoh saja. Sebab, kerajaan-kerjaaan lain tak kalah urusan komoditas hasil pertanian: cengkeh, pala, kayu manis, hingga kapulaga. Kekayaan bumi itu membuat antar kerajaan menjalin hubungan dagang.

Hasil pertanian itu dibawa dan dijual ke bagian Nusantara lainnya. Saban hari hubungan perdagangan dan persahabatan terus terjalin. Perkembangannya signifikan. Orang-orang di Nusantarapun mulai menyadari kekuatan maritim.

Ahli-ahli navigasi bertumbuh. Perkembangan teknologi perkapalan juga kian maju. Kondisi itu ditunjang pula dengan munculnya galangan kapal (tempat pembuatan dan perbaikan kapal) besar dengan pembuat kapal yang terampil. Tukang-tukang pembuat kapal itu mampu membuat iri orang-orang dari berbagai bangsa.

“Galangan kapal di Jawa juga terkenal di Asia Tenggara, khususnya pada abad ke-16. Keahlian arsitek kapal di Jawa ini begitu tersohor sehingga penakluk Malaka, Afonso de Albuquerque membawa 60 tukang kapal yang cakap pada waktu ia meninggalkan Malaka pada tahun 1512,” ungkap Adrian B. Lapian dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (2017).

Raksasa Lautan Nusantara

Hubungan perdagangan antar kerajaan di Nusantara kemudian bertumbuh jadi perdagangan internasional. Kesiapan perdagangan itu karena kemampuan pembuat kapal di Nusantara yang kian berpikir jauh melampau zaman.

Mereka mampu membuat suatu kapal ukuran ‘raksasa’ di era abad ke-16 hingga abad ke-17. Kapal itu dibangun utamanya untuk perdagangan, namun siap sedia untuk situasi perang. Puncak penciptaan itu muncul di Pulau Jawa. Orang-orang jawa menamakannya sebagai Jung Jawa.

Pembuatan Jung Jawa terinspirasi dari banyak hal, termasuk kapal Asia Tenggara dan Tiongkok. Tukang pembuat kapal pun mulai mengelaborasikan ragam referensi untuk menghadirkan Jung Jawa. Kapal itu digambarkan memiliki tiang layar empat buah.

“Jung-Jung pada periode itu sebagai produk campuran perkembangan Laut China Selatan, dengan memilih penggunaan unsure tradisi China dan Asia Tenggara,” tegas Sejarawan Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2 (1993).  

Jung Jawa tak menggunakan besi, tapi pasak untuk menggabungkan bagian satu dan lainnya. Lapisan badan kapal terus diperkuat dengan kayu jati hingga empat lapis. Lapisan itu membuat kapal itu terlihat kokoh dan tak mampu ditembus peluru meriam.

Keungulan itu membuat pelayaran ke mana pun tak pernah jadi masalah. Semua itu memungkinkan karena Nusantara memiliki hutan jati yang melimpah.  Surplus jati membuat aktivitas pembuatan kapal kian bertumbuh.

Galangan-galangan kapal besar di Jawa dengan tukang kapal yang terampil mulai menghiasi pesisir Pulau Jawa. Beberapa di antaranya tersebar di pantai utara Jawa – Cirebon, rembang, hingga demak).

“Salah satu kekuatan besar dari galangan-galangan kapal Pesisir dimungkinkan dengan adanya hutan-hutan jati yang waktu itu- dan sekarang pun masih- membentang sepanjang pantai utara, di dekat Japara dan Rembang,” kata Sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996).

Jung Jawa Kebanggaan Nusantara

Kehadiran Jung Jawa mampu memudarkan anggapan kapal besar dari negeri Asia hanya diproduksi di Tiongkok. Pandangan Jung China lebih unggul lalu dipatahkan oleh penjajah Portugis. Bangsa Portugis yang telah malang melintang di Nusantara sedari era 1500-an menganggap Jung China tak dapat dibanding Jung Jawa.

Jung Jawa ketika mampir di Tiongkok wajib berlabuh dilepas pantai. Orang Tiongkok khawatir Jung Jawa dapat menghancurkan 20 Jung China. Kondisi itu karena kapal itu besar dan berat. Kapasitas pengangkutannya saja mencapai 1.000 ton.

Portugis pun kehabisan kata-kata karena kagum melihat Jung Jawa. Jikalau dipaksa kata-kata yang keluar tak jauh dari kapal terbesar yang pernah dilihat orang di sana sejauh ini.

“Keunggulan jung besar orang Jawa untuk perdagangan segera diketahui oleh Portugis. Dengan asumsi bahwa perbandingan antara panjang dan lebar dan kedalaman tetap, jung sepanjang 30 meter akan memiliki kapasitas sekitar 150 ton, sedangkan jung dengan kapasitas 1.000 ton akan memiliki panjang kira-kira 55 meter,” ungkap Philip Bowring dalam buku Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim (2022).

Jung Jawa yang bermuatan besar dapat dikatakan sebagai kebanggaan nenek moyang bangsa Indonesia. Kapal itu dapat mengangkut segala macam hal. Mereka dapat membawa banyak pelaut, bahan makanan, bahan dagangan dalam jumlah yang melimpah ruah.

Rute pelayarannya cukup banyak. Kapal itu sering terliat berlayar di kawasan Nusantara, Asia Tenggara, serta jazirah arab. Pelayaran itu membuktikan bahwa Jung Jawa terkenal stabil dan tahan lama. Kapal itu bak raksasanya laut Nusantara.

Perlahan-lahan eksistensi Jung Jawa mulai meredup. Jung di abad ke-17 mulai langkah. Penjajahan Belanda dianggap ada baliknya. Tiadanya Jung Jawa di lautan Nusantara menjadi luka yang amat besar. Suatu luka yang seraya mengubur narasi bahwa nenek moyang orang Indonesia adalah pelaut andal. Kalaupun ada jejak itu hanya dapat kembali didengar lewat penggalan lirik lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut:

Nenek moyangku seorang pelaut,
Gemar mengarung luas samudra,
Menerjang ombak, tiada takut,
Menempuh badai, sudah biasa.

 

Share
News Update
UN Condemns Security Council’s Failure to Pass Crucial Ceasefire Resolution

UN Condemns Security Council’s Failure to Pass Crucial Ceasefire Resolution

Erick Thohir Officially Inaugurates New Board for Indonesian Futs...

The formation of the new management for these two federations under PSSI aims to align all stakeholders related to football in Indonesia.

BAZNAS to Build Hospitals, Mosques, Schools in Gaza Recovery Prog...

The funds to be used are the donation funds that are still being held for the Palestinian people. According to him, the donation for Palestine titled “Membasuh Luka Palestina”

Ngurah Rai Airport Expands Access to Nusantara via Balikpapan wit...

General Manager of PT Angkasa Pura Indonesia I Gusti Ngurah Rai Airport Ahmad Syaugi Shahab in Denpasar, on Wednesday (11/20), said this route adds connection opportunities to the State Capital of the Archipelago.

Minister Yusril Clarifies: Mary Jane Veloso Transferred, Not Rele...

Yusril explained that the Indonesian government had received an official request from the Philippine government regarding the transfer of Mary Jane Veloso. The transfer can be carried out if the conditions set by the Ind...

Trending
LOCAL PALETTE
BEGINI CARANYA PERGI KE SUKU PEDALAMAN MENTAWAI - PART 1