SEAToday.com, Jakarta-Kekalahan menyakitkan diderita Timnas U-23 Indonesia melawan Guinea di babak playoff Olimpiade pada 9 Mei 2024. Timnas kalah dengan skor tipis 0-1. Namun, kekalahan itu diperkeruh dengan ucapan rasis pendukung Indonesia di akun media sosial resmi Federasi Sepak Bola Guinea.
Ucapan rasisme sesungguhnya tak layak lagi terucap jika berkaca dari sejarah. Orang Indonesia/bumiputra justru pernah jadi sasaran rasisme di era penjajahan Belanda. Tokoh bangsa seperti Tjipto Mangoenkoesoemo pun bergerak melawan rasisme. Begini ceritanya.
Kehidupan di era penjajahan Belanda tak pernah berpihak kepada kaum bumiputra. Pemerintah kolonial Hindia Belanda seraya memperlakukan bumiputra jauh dari perikemanusiaan. Kaum bumiputra tak memiliki keistimewaan.
Nestapa kaum bumiputra bertambah karena mereka dianggap warga negara kelas bawah. Urutan itu menempatkan orang Eropa/Belanda sebagai warga kelas satu.
Orang timur asing –Arab, China, dan lainnya—jadi warga kelas dua. Kaum bumiputra jadi warga negara kelas tiga. Penentuan kelas itu membuat penjajah memandang rendah penduduk asli Nusantara.
“Yang terakhir disebutkan ini diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah (regeeringsreglement) 1854, yang membagi populasi di Hindia Belanda menjadi tiga kategori etnis: Orang Eropa, Inlanders (bumiputra), dan Vreemde Oosterlingen (orang timur asing, yang masing-masing diberi status hukum dan politik,” imbuh Sejarawan Peter Carey dan Farish A. Noor dalam buku Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808-1830 (2021).
Pembagian kelas jadi jalan diskriminasi dan rasisme tumbuh subur. Tiada tempat yang aman dari rasisme. Bumiputra ke sekolah terkena rasisme. Bumiputra bermain bola terkena rasisme. Bumiputra naik kereta/trem tak luput dari rasisme.
Tjipto Melihat Rasisme
Rasisme yang dilakukan orang Eropa atau keturunan Eropa (sinyo-noni) tak mudah dilupakan oleh kaum bumiputra. Rasisme itu bak penghinaan besar. Sesuatu hal yang harus dilawan dan tak dapat diamkan. Pergolakan batin itu terlihat dalam diri tokoh bangsa, Tjipto Mangoenkoesoemo.
Pria yang lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 1886 amat benci menyaksikan rasisme kepada kaumnya. Ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana penjajah memandang kaumnya rendah. Ia menyaksikan sendiri bagaimana rasisme mengganggu bumiputra saat menempuh ilmu di Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi, STOVIA, Batavia (kini: Jakarta). Ia menuntut ilmu di STOVIA dari 1899-1905.
Ia menyaksikan beberapa pengajar memandang rendah kaumnya. Bahkan, ada aturan yang melarang kaum bumiputra menggunakan pakaian ala Eropa. Mereka dipaksa menggunakan pakaian dari suku bangsanya masing-masing. Sekalipun Tjipto tak ambil pusing.
Ia menyaksikan pula beberapa tempat perkumpulan orang Eropa seperti Societeit (klub) dan kolam renang melarang kaum bumiputra masuk. Tempat-tempat perkumpulan seperti itu konon menempatkan penanda besar di depan pintu masuknya: Verboden voor Honden en Inlander (Anjing dan pribumi dilarang masuk).
Rasisme paling nyata muncul pula di kereta api dan trem. Penumpang bumiputra hanya diperbolehkan menempati gerbong kelas tiga. Kenyamanan seraya hal yang terlarang ditanyakan di dalam gerbong kelas yang sering disebut kelas kambing – karena bercampur dengan hewan ternak.
Melawan Rasisme
Tjipto tak dapat terus-terusan memaklumi rasisme yang terjadi. Darahnya sering kali menyala melihat penghinaan orang Eropa kepada kaumnya. Belanda sering yang sering merendahkan bumiputra dengan sebutan inlander.
“Tjipto benar-benar seorang satria dalam seluruh hidupnya. Bila Soewardi (Ki Hajar Dewantara) jebolan sekolah dokter kemudian menjadi pemuda radikal dengan sebuah artikel, Tjipto berpraktek sebagai dokter dan pemberontak tak sabar yang tak dapat menahan diri memperlihatkan kejijikannya pada kekuasaan dan kemegahan, bahkan sebelum ia memulai karier politiknya,” ujar Takashi Shiraishi dalam buku 100 Tahun Nusantara (2000).
Ia pun kerap menantang nyalinya untuk terus melawan sikap superioritas orang Eropa. Ia pernah dengan pakaian tradisional: Kain batik, jatuh lurik hitam masuk ke societeit yang penuh orang Belanda. Seluruh orang Belanda kaget. Mereka meminta penjaga untuk mengusir Tjipto.
“Segera diperintahkan seorang opas (penjaga) untuk mengusir Tjipto keluar dari gedung. Maka dengan lantangnya Tjipto memaki-maki opas serta orang-orang yang ada di dekatnya dengan bahasa Belanda yang fasih. Maka tercengang-cenganglah mereka karena terpengaruh oleh kewibawaan Tjipto,” ungkap Soegeng Reksodihardjo dalam buku dr. Cipto Mangunkusomo (1992).
Sifat tak suka akan rasisme turus ditunjukkan oleh Tjipto. Ia bertindak lebih jauh. Kejahilannya bisa membuat orang Belanda marah-marah. Tjipto pernah dengan sengaja membeli karcis kereta cepat yang khusus untuk orang kulit putih.
Karcis yang terbeli itu lalu diberikannya kepada seorang pengemis. Orang yang mendapatkan karcis kegirangan. Pengemis dengan pakaiannya yang compang-camping itu percaya diri naik ke gerbong kereta khusus orang Eropa. Seluruh penumpang kulit putih lalu jadi heboh.
“Karuan saja noni-noni dan sinyo-sinyo serta orang-orang kulit putih di kereta api itu berteriak-teriak memaki-maki serta timbul hiruk-pikuk. ltulah keberanian Tjipto yang mengandung unsur. Eksentrik serta humor, dalam protesnya terhadap kesombongan penjajah,” tambah Soegeng Reksodihardjo.
Tindakan-tindakan protes yang dilakukan Tjipto tak hanya secara nyentrik. Ia juga kerap menelanjangi kekuasaan Belanda yang menyengsarakan kaum bumiputra dengan goresan pena dan retorika. Keberaniannya itu membuat Tjipto pernah mendekam di penjara.
Penjajah pun sampai mengasingkannya ke Belanda dan Pulau Banda karena terlalu berisik. Ia tak mengenal kata menyerah untuk Indonesia merdeka. Ia pun dikenal sebagai mentor dari pejuang kemerdekaan seperti Soekarno dan Mohammad Hatta.
Recommended Article
News Update
Erick Thohir Officially Inaugurates New Board for Indonesian Futs...
The formation of the new management for these two federations under PSSI aims to align all stakeholders related to football in Indonesia.
BAZNAS to Build Hospitals, Mosques, Schools in Gaza Recovery Prog...
The funds to be used are the donation funds that are still being held for the Palestinian people. According to him, the donation for Palestine titled “Membasuh Luka Palestina”
Ngurah Rai Airport Expands Access to Nusantara via Balikpapan wit...
General Manager of PT Angkasa Pura Indonesia I Gusti Ngurah Rai Airport Ahmad Syaugi Shahab in Denpasar, on Wednesday (11/20), said this route adds connection opportunities to the State Capital of the Archipelago.
Minister Yusril Clarifies: Mary Jane Veloso Transferred, Not Rele...
Yusril explained that the Indonesian government had received an official request from the Philippine government regarding the transfer of Mary Jane Veloso. The transfer can be carried out if the conditions set by the Ind...
Trending
- # Daily Update
- # Regional
- # Nasional
- # Internasional
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).