• Wednesday, 06 November 2024

Cara Tjipto Mangoenkoesoemo Lawan Rasisme

Cara Tjipto Mangoenkoesoemo Lawan Rasisme
Tiga Serangkai (duduk): Tjipto Mangoenkoesoemo, Ernest Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dirgantara) | KITLV

SEAToday.com, Jakarta-Kekalahan menyakitkan diderita Timnas U-23 Indonesia melawan Guinea di babak playoff Olimpiade pada 9 Mei 2024. Timnas kalah dengan skor tipis 0-1. Namun, kekalahan itu diperkeruh dengan ucapan rasis pendukung Indonesia di akun media sosial resmi Federasi Sepak Bola Guinea.

Ucapan rasisme sesungguhnya tak layak lagi terucap jika berkaca dari sejarah. Orang Indonesia/bumiputra justru pernah jadi sasaran rasisme di era penjajahan Belanda. Tokoh bangsa seperti Tjipto Mangoenkoesoemo pun bergerak melawan rasisme. Begini ceritanya.

Kehidupan di era penjajahan Belanda tak pernah berpihak kepada kaum bumiputra. Pemerintah kolonial Hindia Belanda seraya memperlakukan bumiputra jauh dari perikemanusiaan. Kaum bumiputra tak memiliki keistimewaan.

Nestapa kaum bumiputra bertambah karena mereka dianggap warga negara kelas bawah. Urutan itu menempatkan orang Eropa/Belanda sebagai warga kelas satu.

Orang timur asing –Arab, China, dan lainnya—jadi warga kelas dua. Kaum bumiputra jadi warga negara kelas tiga. Penentuan kelas itu membuat penjajah memandang rendah penduduk asli Nusantara.

“Yang terakhir disebutkan ini diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah (regeeringsreglement) 1854, yang membagi populasi di Hindia Belanda menjadi tiga kategori etnis: Orang Eropa, Inlanders (bumiputra), dan Vreemde Oosterlingen (orang timur asing, yang masing-masing diberi status hukum dan politik,” imbuh Sejarawan Peter Carey dan Farish A. Noor dalam buku Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808-1830 (2021).

Pembagian kelas jadi jalan diskriminasi dan rasisme tumbuh subur. Tiada tempat yang aman dari rasisme. Bumiputra ke sekolah terkena rasisme. Bumiputra bermain bola terkena rasisme. Bumiputra naik kereta/trem tak luput dari rasisme.

Tjipto Melihat Rasisme

Rasisme yang dilakukan orang Eropa atau keturunan Eropa (sinyo-noni) tak mudah dilupakan oleh kaum bumiputra. Rasisme itu bak penghinaan besar. Sesuatu hal yang harus dilawan dan tak dapat diamkan. Pergolakan batin itu terlihat dalam diri tokoh bangsa, Tjipto Mangoenkoesoemo.

Pria yang lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 1886 amat benci menyaksikan rasisme kepada kaumnya. Ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana penjajah memandang kaumnya rendah. Ia menyaksikan sendiri bagaimana rasisme mengganggu bumiputra saat menempuh ilmu di Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi, STOVIA, Batavia (kini: Jakarta). Ia menuntut ilmu di STOVIA dari 1899-1905.

Ia menyaksikan beberapa pengajar memandang rendah kaumnya. Bahkan, ada aturan yang melarang kaum bumiputra menggunakan pakaian ala Eropa. Mereka dipaksa menggunakan pakaian dari suku bangsanya masing-masing. Sekalipun Tjipto tak ambil pusing.

Ia menyaksikan pula beberapa tempat perkumpulan orang Eropa seperti Societeit (klub) dan kolam renang melarang kaum bumiputra masuk. Tempat-tempat perkumpulan seperti itu konon menempatkan penanda besar di depan pintu masuknya: Verboden voor Honden en Inlander (Anjing dan pribumi dilarang masuk).

Rasisme paling nyata muncul pula di kereta api dan trem. Penumpang bumiputra hanya diperbolehkan menempati gerbong kelas tiga. Kenyamanan seraya hal yang terlarang ditanyakan di dalam gerbong kelas yang sering disebut kelas kambing – karena bercampur dengan hewan ternak.

Melawan Rasisme

Tjipto tak dapat terus-terusan memaklumi rasisme yang terjadi. Darahnya sering kali menyala melihat penghinaan orang Eropa kepada kaumnya. Belanda sering yang sering merendahkan bumiputra dengan sebutan inlander.

“Tjipto benar-benar seorang satria dalam seluruh hidupnya. Bila Soewardi (Ki Hajar Dewantara) jebolan sekolah dokter kemudian menjadi pemuda radikal dengan sebuah artikel, Tjipto berpraktek sebagai dokter dan pemberontak tak sabar yang tak dapat menahan diri memperlihatkan kejijikannya pada kekuasaan dan kemegahan, bahkan sebelum ia memulai karier politiknya,” ujar Takashi Shiraishi dalam buku 100 Tahun Nusantara (2000).

Ia pun kerap menantang nyalinya untuk terus melawan sikap superioritas orang Eropa. Ia pernah dengan pakaian tradisional: Kain batik, jatuh lurik hitam masuk ke societeit yang penuh orang Belanda. Seluruh orang Belanda kaget. Mereka meminta penjaga untuk mengusir Tjipto.

“Segera diperintahkan seorang opas (penjaga) untuk mengusir Tjipto keluar dari gedung. Maka dengan lantangnya Tjipto memaki-maki opas serta orang-orang yang ada di dekatnya dengan bahasa Belanda yang fasih. Maka tercengang-cenganglah mereka karena terpengaruh oleh kewibawaan Tjipto,” ungkap Soegeng Reksodihardjo dalam buku dr. Cipto Mangunkusomo (1992).

Sifat tak suka akan rasisme turus ditunjukkan oleh Tjipto. Ia bertindak lebih jauh. Kejahilannya bisa membuat orang Belanda marah-marah. Tjipto pernah dengan sengaja membeli karcis kereta cepat yang khusus untuk orang kulit putih.

Karcis yang terbeli itu lalu diberikannya kepada seorang pengemis. Orang yang mendapatkan karcis kegirangan. Pengemis dengan pakaiannya yang compang-camping itu percaya diri naik ke gerbong kereta khusus orang Eropa. Seluruh penumpang kulit putih lalu jadi heboh.

“Karuan saja noni-noni dan sinyo-sinyo serta orang-orang kulit putih di kereta api itu berteriak-teriak memaki-maki serta timbul hiruk-pikuk. ltulah keberanian Tjipto yang mengandung unsur. Eksentrik serta humor, dalam protesnya terhadap kesombongan penjajah,” tambah Soegeng Reksodihardjo.

Tindakan-tindakan protes yang dilakukan Tjipto tak hanya secara nyentrik. Ia juga kerap menelanjangi kekuasaan Belanda yang menyengsarakan kaum bumiputra dengan goresan pena dan retorika. Keberaniannya itu membuat Tjipto pernah mendekam di penjara.

Penjajah pun sampai mengasingkannya ke Belanda dan Pulau Banda karena terlalu berisik. Ia tak mengenal kata menyerah untuk Indonesia merdeka. Ia pun dikenal sebagai mentor dari pejuang kemerdekaan seperti Soekarno dan Mohammad Hatta.

Share
News Update
Minister Erick Thohir Cancels Rp14 Trillion Terminal 4 Project at Soekarno-Hatta, Shifts Focus to Upgrading Existing Terminals

Minister Erick Thohir Cancels Rp14 Trillion Terminal 4 Project at Soekarno-Hatta, Shifts Focus to Up...

President Prabowo Receives Credentials from Seven Newly Appointed...

On Monday (11/4), President Prabowo Subianto received Letters of Credence from seven Ambassadors Extraordinary and Plenipotentiary at the Merdeka Palace.

Jakarta Government to Fund Tuition, Supplies, and Fees for Select...

Acting Head of the Jakarta Education Agency, Purwosusilo, recently announced that the city’s free private school program will not only eliminate tuition and registration fees but also cover essential equipment for studen...

Mount Lewotobi Eruption Shuts Down Four Airports, Disrupting Regi...

The Indonesian Aviation Navigation Service Provider Corporation (LPPNPI) or AirNav Indonesia’s Kupang Branch has announced that four airports on Flores Island, East Nusa Tenggara (NTT), are temporarily closed following t...

Eastern Spain Flash Floods Kill Over 200 People

Flash floods that swept Eastern Spain on Tuesday (10/29) evening and early Wednesday had killed at least 217 people with dozens still missing, said Prime Minister Pedro Sanchez on Saturday (11/2).E

Trending