Kemajuan Jakarta seraya membuat kota lainnya iri. Gedung-gedung menjulang tinggi kian banyak. Fasilitas pendidikan lengkap. Fasilitas kesehatan juga mengikuti. Semua kampung dapat diakses dengan jalanan beraspal. Dulu kala kondisi Jakarta jauh beda. Kota Jakarta pernah diremehkan.
Jakarta pernah dianggap kota kubangan kerbau. Ali Sadikin pun jadi sosok yang berjasa mengubah wajah Jakarta dan berhasil. Masalahnya Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 itu justru dikecam. Ia dijuluki Gubernur Maksiat. Kenapa?
Perkembangan Jakarta pernah dianggap melambat. Jakarta tak sama sekali merepresentasikan sebagai Ibu Kota Indonesia. Seabrek masalah diyakini sebagai masalahnya. Pemukiman kumuh di Jakarta terus bertumbuh.
Jalanan yang beraspal pun terbatas. Apalagi, kubangan kerbau muncul di mana-mana. Kondisi itu memunculkan kekhawatiran. Presiden Soekarno pun mengutus Ali Sadikin untuk membenahi banyak seabrek masalah Jakarta pada 1966.
Pria yang akrab disapa Bang Ali tak langsung bertindak. Ia mencoba mempelajari dulu seluk-beluk Jakarta dan segala macam problemanya. Pembangunan Jakarta nyatanya tak mudah. Mimpi mempercantik dan memajukan Jakarta terganjal banyak hal. Urusan anggaran dana misalnya.
Pajak Maksiat
Anggaran dana yang tersedia untuk membangun Jakarta hanya Rp66 juta per tahun. Pemerintah sempat menaikkan jadi Rp266 juta pertahun. Dana segitu takkan cukup. Ali mengajak jajarannya untuk memikirkan solusi supaya Jakarta dapat mempercantik diri.
Ia ingin segera mewujudkan mimpi Soekarno yang ingin Jakarta jadi Kota Metropolitan, walau sudah era Orde Baru. Ia mulai mendapatkan ilham menerapkan ide-ide liar di Jakarta. Ia mulai mencoba melegalkan perjudian untuk menambah anggaran mempercantik Jakarta.
Izin-izin pembangunan klub malam (nightclub) yang menghadirkan hiburan tarian telanjang (striptis) diberikan. Usaha panti pijit pun begitu. Aktivitas ‘maksiat’ jadi kantong-kantong baru sumber keuangan daerah.
“Dalam usahanya mengatasi masalah keuangan dengan kasar menginjak banyak jari kaki. Dia telah meningkatkan pendapatan kota dari jumlah yang menimbulkan iba hati, yakni Rp66 juta rupiah menjadi Rp7 miliar,” hadir dalam buku Ali Sadikin: Menggusur dan Membangun (1977).
Gebrakan Ali yang bertentangan dengan kaum agamis bawa untung besar. Jakarta berbenah. Pemasukan dari pajak ‘maksiat’ itu bikin Jakarta berkembang pesat. Pembangunan Rumah sakit, sekolah, jalanan beraspal, hingga pembenahan kampung mampu dilakukan. Hajat hidup warga Jakarta jadi terangkat.
Kecaman dari Ulama
Manfaat pembangunan yang dilakukan Ali memang dirasakan warga Jakarta. Namun, langkah Ali melegalkan perjudian dan bisnis berahi memancing hujatan. Pembangunan yang berasal dari duit maksiat dianggap membawa banyak masalah daripada manfaat.
Mereka yang mengkritik Ali bukan dari kalangan sembarangan. Tokoh Islam nasional Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Mohammad Natsir jadi yang terdepan melemparkan kritik. Mereka mengecam tiap kali kegiatan maksiat semakin menjamur di Ibu Kota.
Langkah itu memicu kaum ulama lainnya untuk menyatakan keberatan kepada Ali dan pemerintah DKI Jakarta. Ali tak terlalu memikirkannya. Ia merasa banyak warga Jakarta lainnya sudah menyadari manfaat dari kebijakan pajak maksiat.
Mohammad Natsir pun terus mendesak Ali untuk memikirkan kembali kebijakannya. Ali pun akhirnya menanggapi kritikan. Lama-lama ia kesal juga. Ia mengeluarkan pendapat yang justru memancing kemarahan umat Islam.
“Pak Ali Sadikin pernah berpidato dari balai kota dan disiarkan oleh pers, yang antara lain mengatakan, itu orang-orang Islam, khususnya tokoh Islam Pak Natsir, kalau tidak setuju proyek judi yang hasilnya untuk membangun jalan di ibu kota, sebaiknya kalau keluar rumah pakai helikopter, agar tidak menginjak jalan yang dibangun dari dana judi! Maka makin ramailah reaksi masyarakat,” pungkas staf khusus Ali Sadikin, A.M. Fatwa dikutip Wardiman Djojonegoro dalam buku Sepanjang Jalan Kenangan (2016).
Pernyataan Ali Sadikin memancing kemarahan segenap umat Islam. Ali pun tak tinggal diam. Ia mulai mendatangi ulama-ulama untuk menjelaskan maksudnya. Ali dalam kapasitas itu terbuka sekali dengan kritik-kritik.
Ia menganggap mereka yang melakukan kritik seraya staf yang mempermudah pekerjaannya. Bedanya tak dibayar. Nasi sudah jadi bubur. Kemarahan umat Islam tak dapat dibendung. Ali mulai dijuluki macam-macam. Julukan Gubernur Maksiat merupakan yang paling sering terdengar.
“Setelah saya mengizinkan judi, menerbitkan perjudian dan memungut pajak dari sana, orang yang tidak suka kepada kebijaksanaan saya itu menyebut saya Gubernur Judi atau malahan Gubernur Maksiat. Malahan sampai-sampai ada yang menyebut istri saya Madam Hwa-Hwe. Apalah kesalahan istri saya dengan kebijaksanaan yang saya ambil? Istri saya kena getahnya,” kata Ali Sadikin ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Julukan itu melekat dalam figur Ali Sadikin. Citra buruk itu menerangkan kebijakannya yang mengandalkan bisnis maksiat. Akan tetapi, kritikan itu tak bertahan lama. Belakangan banyak yang sadar jika Ali Sadikin mampu memunculkan perasaan bangga akan Kota Jakarta.
Mereka memahami langkah kontroversial Ali justru dimaksud untuk memperbaiki hajat hidup rakyat Jakarta. Ali sendiri tak mengambil keuntungan sedikit pun dari corong ‘maksiat’ untuk memperkaya diri sendiri. Pada akhirnya, sikap itu yang menjadikan Ali sebagai gubernur terbaik yang pernah memimpin Jakarta.
Recommended Article
News Update
Erick Thohir Officially Inaugurates New Board for Indonesian Futs...
The formation of the new management for these two federations under PSSI aims to align all stakeholders related to football in Indonesia.
BAZNAS to Build Hospitals, Mosques, Schools in Gaza Recovery Prog...
The funds to be used are the donation funds that are still being held for the Palestinian people. According to him, the donation for Palestine titled “Membasuh Luka Palestina”
Ngurah Rai Airport Expands Access to Nusantara via Balikpapan wit...
General Manager of PT Angkasa Pura Indonesia I Gusti Ngurah Rai Airport Ahmad Syaugi Shahab in Denpasar, on Wednesday (11/20), said this route adds connection opportunities to the State Capital of the Archipelago.
Minister Yusril Clarifies: Mary Jane Veloso Transferred, Not Rele...
Yusril explained that the Indonesian government had received an official request from the Philippine government regarding the transfer of Mary Jane Veloso. The transfer can be carried out if the conditions set by the Ind...
Trending
- # Daily Update
- # Regional
- # Nasional
- # Internasional
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).