• Friday, 17 May 2024

Cornelis Chastelein dan Awal Mula Istilah Belanda Depok

Cornelis Chastelein dan Awal Mula Istilah Belanda Depok
Monumen Cornelis Chastelein di Depok tempo dulu | KITLV

SEAToday.com, Jakarta-Imej kongsi dagang Belanda VOC sudah sedemikian buruk bagi rakyat Indonesia. Mereka dipandang tak lebih dari penjajah terkutuk. Mereka hanya tahu memonopoli dagangan rempah, tanpa berpikir menaikkan derajat kaum bumiputra. Namun, tak semua pegawai kompeni bermental penjahat.

Cornelis Chastelein bisa jadi contoh. Pejabat Kompeni itu terkenal dengan kemurahan hatinya. Ia jadi yang pertama kali membuka kawasan Depok. Ia juga andil dalam munculnya istilah Belanda Depok. Bagaimana kisah lengkapnya?

Cornelis Chastelein tak pernah kesulitan untuk jadi bagian dari VOC. Pria kelahiran Amsterdam, 10 Agustus 1657 memiliki bekal penting yang membuatnya mampu berkarier di Kompeni. Bekal pertama Cornelis beragama Kristen protestan, bukan Katolik.

Bekal kedua pamannya, Cornelis van Quaelbergh termasuk dalam orang penting dalam hierarki Kompeni. Pamannya menjabat sebagai anggota istimewa Dewan Hindia. Bekal berharga itu membuat Cornelis mantap datang ke Nusantara pada 1675.

Jabatan pertamanya adalah pemegang buku di pusat kuasa VOC di Batavia (sekarang Jakarta). Kepribadiannya yang teliti dan genius dalam hitung-hitungan kian memuluskan karier.  Ia pernah merasakan nyamannya hidup sebagai pengawas gudang Kompeni.

“Cornelis Chastelein sering dikisahkan keluarga sebagai orang yang pintar, jago hitung-hitungan, apalagi berdagang. Hal itu dibuktikan dengan garis keturunannya – Belanda Depok adalah orang-orang yang pandai berhitung dan berdagang,” ungkap Rendi Paulwin Bacas, salah satu keturunan dari 12 marga yang dibebaskan Cornelis.

Pejabat dan Tuan Tanah

Cornelis pun mulai membeli berbagai macam tanah potensial di Batavia. Weltevreden – Senen, Gambir, Lapangan Banteng, hingga pejambon-- pernah jadi miliknya. Ia juga pernah meraasakan jabatan besar lainnya sebagai Opperkoopman alias Saudagar Utama VOC pada 1691.

Usianya kala itu baru 34 tahun. Namun, instingnya dalam berdagang sedang tinggi-tingginya. Kondisi itu membawannya memiliki banyak relasi.  Ia mampu akrab dengan siapa saja, tak terkecuali Gubernur Jenderal VOC.

Belakangan Cornelis merasa janggal. Ia menganggap bekerja untuk Kompeni sering bertentangan dengan nuraninya sebagai Kristen Protestan yang taat. Ia melihat sendiri bagaimana korupnya pejabat kompeni.

Korupsi itu dilakukan hingga ke level bawah. Ia pernah tergerak melaporkan masalah korupsi pejabat, tapi tak digubris.

“Cornelis menulis bahwa landdrost (setingkat polisi) yang korup dan kaffer-nya sering kali menempatkan para penggugat dan tersangkanya di balik jeruji. Alhasil, kedua belah pihak harus membayar untuk dibebaskan. Maka, tidak ada orang Jawa atau dari suku bangsa lain yang mau melaporkan satu sama lain,” ujar Sejarawan Bondan Kanumoyoso dalam buku Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia (2023).  

Ketidakcocokannya dengan Kompeni mulai terlihat di era pemerintahan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691-1704). Cornelis pun mulai memilih mundur dari Kompeni. Ia pun menjual tanahnya di Weltevreden.

Uang hasil penjualan tanah lalu digunakan Cornelis untuk membeli tanah di Selatan Batavia, Srengseng, Mampang, dan Depok pada 1696. Ia mulai membelokkan kariernya dari pejabat ke tuan tanah. Budak-budaknya yang berasal dari berbagai daerah Nusantara. Bali, Sulawesi, hingga Sri Lanka turut ikut serta.

Bebaskan Budak

Perbudakan kala itu memang jadi tren di antara pejabat maupun bekas pejabat Kompeni. Kebutuhan akan tenaga kerja murah jadi alasannya. Kehadiran budak pun dimanfaatkan untuk segala macam pekerjaan. Urusan kebun, jaga pertanian, dan segala macamnya.

Cornelis pun bersyukur dengan kehadiran budak-budak. Apalagi, budak yang dimiliki Cornelis mencapai ratusan. Suatu jumlah yang mampu melambangkan bahwa Cornelis orang kaya. Sebab, di era itu memiliki banyak budak sering dianggap lambang kekayaan: penjaga gengsi.

Ia tampil berbeda dengan pejabatan mantan pejabat Kompeni lainnya. Jika banyak pejabat Kompeni justru memperlakukan budak dengan seenak jidak. Cornelis tidak. Ia  memperlakukan budaknya dengan manusiawi. Para budak diperkerjakan untuk mengelolah sawah dan perkebunan.

Budak-budak itu menanam lada, tebu, kelapa, dan buah lainnya. Cornelis pun menganggap mereka –para budak—istimewa. Ia bahkan tak ingin hubungan yang dikembangkan bernada majikan-budak.

Relasi yang benar-benar dibentuk antara dia dan budak seraya bapak-anak. Kondisi itu membuat budak-budak merasa istimewa. Mereka diperlakukan seperti keluarga sendiri.

“Lebih bersifat patron-client. Hubungan patron-client adalah hubungan kerja seperti bapak dan anak. Sistem hubungan kerja seperti ini, mensyaratkan para client untuk tinggal di tanah milik patron-nya, dalam rumah yang terpisah. Dalam hubungan kerja ini, para client melayani patron dan keluarganya, sementara Sang Patron berperan sebagai pelindung dan memenuhi kebutuhan makan dan minum client nya,” ungkap Tri Wahyuning M. Irsyam dalam buku Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an (2017).

Nilai-nilai ajaran Kristen Protestan diajarkan kepada budak. Ia juga mengajarkan budak berurusan dengan hitung-hitungan dan berdagang. Istimewanya lagi budak-budaknya diajarkan bahasa Belanda. Mereka jadi mampu berbahasa Belanda dengan fasih. 

Kepedulian Cornelis nyatanya tak lekang oleh waktu. Cornelis memang telah tiada sedari 28 Juni 1714. Kepergian Cornelis pun bawa keberuntungan kepada sekitar 150 budak yang terbagi dalam 12 marga. Marga itu antara lain Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh.

Mereka mendapatkan warisan dari Cornelis. Cornelis memerdekakan seluruh budak-budaknya. Warisan lain yang diberikan dan tak kalah penting adalah seluruh tanah milik Cornelis dari mampang hingga Depok jadi milik budak.

Tanah-tanah itu diharapkan dapat menunjang kesejahteraan budak-budaknya. Namun, dengan catatan tanahnya tak boleh jadi tempat perjudian dan segala kegiatan yang melanggar norma masyarakat. Puncaknya, wasiat Cornelis menuturkan tanah itu harus dijaga dan tak boleh dijual.

Istilah Belanda Depok

Tanah harus digunakan sepenuh-sepenuhnya untuk kemakmuran 12 marga. Belakangan ke-12 marga itu diberikan label sebagai Belanda Depok. Mereka dianggap sesepuh Depok. Kondisi itu karena mereka fasih berbahasa Belanda. Punya pemerintahan sendiri pula.  

“Ketika jadi guru Sudjarwo, ia pernah memimpin aubade siswa-siswi Depok ketika Bung Karno menjajal lokomotif KA Listrik Jakarta-Bogor. la singgah 15 menit di stasiun Depok Lama. Depok kala itu, kata Sudjarwo, hanya sebuah desa. Penduduknya oleh orang luar disebut Belanda Depok. Padahal mereka orang Indonesia asli dari berbagai suku, yang dimerdekakan dari perbudakan oleh Cornelis Chastelein di abad ke-18,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006).

Julukan itu bahkan masih terdengar hingga Indonesia merdeka. padahal, julukan Belanda Depok hanya sebatas nama saja. Tidak secara fisik. Fisik kebanyakkan keturunan 12 marga justru tak ubahnya orang Indonesia tulen.

Share
Trending
Popular Post

Explosion Occurs in Bekasi Field Artillery Battalion Ammunition W...

Explosion Occurs in Bekasi Field Artillery Battalion Ammunition Warehouse

Japan Firms Walked Out of The Singapore-Malaysia High Speed Railw...

On Thursday (11/1), Japanese firms decided to opt out of the Malaysia-Singapore High-Speed railway project, amid the deadline for requests on January 15.

Jakarta Provincial Minimum Wage 2024 Set to IDR5.06 M

The Jakarta Provincial Government has set the Provincial Minimum Wage (UMP) for 2024 at Rp5,067,381

Bank Indonesia Revokes 3 Indonesian Coins

Bank Indonesia (BI) has revoked and withdrawn three types of rupiah bills from circulation, starting December 1, 2023.

31 Injured and 5 Sub-districts in Sumedang-Bandung Regency Affect...

At least 31 people were injured and five sub-districts were affected by a tornado that struck Sumedang-Bandung Regency, West Java, on Wednesday (2/21)

Infographic