SEAToday.com, Jakarta-Golok dikenal sebagai salah satu senjata tradisional yang ada di Nusantara. Penggunaannya pun tak melulu untuk membela diri. Golok hadir pula untuk memudahkan kehidupan sehari-hari. Pisau yang terbuat dari besi/baja itu membantu kegiatan berkebun dan menyembelih hewan.
Kisah golok akan beda cerita jika senjata jenis bacok itu berada di tangan orang Betawi. Golok dianggap senjata sakral. Penggunaannya pun tak sembarang. Kondisi itu memunculkan anggapan, bukan laki-laki Betawi namanya kalau tidak punya golok. Kenapa begitu?
Popularitas golok bagi masyarakat Melayu tak bisa dianggap remeh. Golok dapat ditemukan dengan mudah di seantero Nusantara. Beda wilayah, beda pula cara penyebutan orang-orang terkait golok. Ambil contoh di Jakarta.
Golok telah menjelma jadi bagian penting dalam kehidupan etnis Betawi. Orang Betawi (etnis yang mendiami Jakarta) memang mengenal dua tipe golok sejak era kolonial. Golok gablongan dan golok sorenan, golok untuk jaga diri.
Kehadiran golok di tanah Betawi begitu dominan. Bahkan, popularitas itu membuat senjata lainnya kurang dikenal. Muasalnya karena golok sorenan digunakan sebagai senjata sakral pelengkap bela diri oleh jago Betawi.
Jago di sini adalah mereka yang memiliki kemampuan mempuni dalam ilmu bela diri Betawi, maen pukulan. Klasifikasi Jago sendiri lebih kepada tujuan mereka mempelajari ilmu bela diri. Ada yang menggunakan bela dirinya untuk melindungi yang lemah macam Entong Gendut.
Ada pula yang menggunakan bela dirinya untuk menguntungkan dirinya sendiri macam centeng-centeng penjajah Belanda. Andil jago membawa popularitas golok meningkat. Kaum laki-laki Betawi merasa mereka harus memiliki golok.
Mereka merasa kehadiran golok yang terselip kepinggang semacam simbol kewibawaan. Bukan laki-laki Betawi jika tak memiliki golok. Itulah ungkapan yang lazim didengarkan dulu kala. Faktor kewibawaan itu membuat banyak orang berbondong-bodong belajar bela diri.
Mereka yang masuk ke dalam perguruan maen pukulan biasa diberi syarat membawa dua golok. Satu golok untuk perguruan. Satu golok lagi untuk pegangan. Namun, penggunaan golok tak boleh sembarang. Haram hukumnya bagi laki-laki Betawi memainkan golok di muka umum.
“Para lelaki atau jago Betawi menempatkan golok sebagai senjata sakral yang tidak boleh diperlihatkan apalagi dimain-mainka di depan umum. Golok disoren di pinggang, ditutupi pakaian luar atau jas tutup. Apabila terlibat masalah dan tidak ada kata damai, sang jago cukup memperlihatkan gagang golok yang dimiringkan, menandakan dan siap bertarung,” ujar Budayawan Betawi, G.J. Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016).
Golok hanya digunakan untuk saat-saat genting. Suatu kondisi yang mengancam nyawa. Lalu golok gunakan dalam menunjang ilmu silat. Kondisi itu terlihat dalam banyaknya pemberontakan melawan Belanda yang bergelora di tanah Betawi.
Para jago Betawi membantu kaum tani melawan pejajah yang menaikkan pajak seenak jidat. Kondisi itu membuat golok muncul jadi simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Tak Boleh Sembarang
Popularitas golok ikut berkembang dengan tumbuhnya aliran maen pukulan di Betawi, aliran silat beksi hingga cingkrik. Golok bak bagian tak terpisahkan dengan keseharian orang Betawi zaman dulu. Sedari kecil, laki-laki Betawi telah dibiasakan dengan ilmu agama.
Para orang tua meminta anak-anaknya untuk pergi mengaji. Sepulangnya, aktivitas yang dilakukan adalah belajar silat. Pelajaran silat itu membuat mereka mempelajari berbagai macam jurus maen pukulan. Aktivitas belajar bela diri maen pukulan pun berlangsung turun-temurun.
Budayawan Betawi, Masykur Isnan membenarnya. Ia menyebut dua hal yang paling penting dalam proses hidup orang betawi. Belajar mengaji dan pandai bela diri. Belajar mengaji untuk menguatkan pengaruh agama Islam. Lalu bela diri untuk menjauhkan diri dari kejahatan.
Kondisi itu membuat orang Betawi melihat golok sebagai sesuatu yang berharga. Sesuatu yang memiliki nilai penting. Ia menyebut ramuan itu membuat anatomi golok memiliki nilai filosofi sendiri. filosofi yang notabene dapat menaikkan derajat mereka yang menggunakan golok.
“Golok juga memiliki arti filosofis tersendiri di masyarakat Betawi yang kental religiusitas sehingga selalu dikaitkan dengan nilai spiritual. Gagang Golok merupakan sebuah pegangan hidup, bagian tajamnya dimaknai sebagai simbol keberanian dan nyali, bagian sarung merupakan bungkus yang dipenuhi atau diselimuti peranan agama (islam),” kata Masykur Isnan saat dihubungi SEAToday.com, 23 April 2024.
Penggunaan golok dalam bela diri seraya tak terpisahkan. Golok dianggap penting. Namun, penggunaan golok bukanlah inti utama. Sebab, kemampuan menguasai jurus jadi paling utama. Keterampilan itu jadi bukti bahwa penggunaan golok tak boleh sembarang.
Masykur Isnan menerangkan barang siapa yang memiliki golok paling tidak harus mengerti urusan agama dan bela diri. Tanpa bekal itu permainan golok hanya jadi atraksi biasa saja. Niatnya mau mencelakai musuh, tapi apa boleh dikata, diri sendiri jadi celaka.
“Golok tanpa jurus tidak akan jadi apa-apa, paling banter hanya bisa diputar-putar saja. gerakan golok hanyalah diputar ke kanan, kiri, depan, atas dan bawah,” tulis Gres Grasia Azmin dalam buku Memori Kolektif Orang Betawi dalam Maen Pukulan Beksi Tradisional H. Hasbullah (2023).
Recommended Article
News Update
China Calls for Accelerated Construction of China-Thailand Railwa...
Chinese President Xi Jinping emphasized the importance of accelerating the construction of the China-Thailand Railway and expanding cooperation in innovative fields such as new energy, the digital economy, and artificial...
President Prabowo Highlights Indonesia's Renewable Energy Commitm...
President Prabowo also explained that Indonesia has great potential in developing green energy, including geothermal, hydro, solar power, and bioenergy.
Jakarta Residents Must Sort Waste to Avoid Retribution Fees
The Jakarta Provincial Government (Pemprov) will require residents to sort their waste starting January 1, 2025, to be exempt from the cleaning service levy (RPB).
2 Tourism Villages in Indonesia Receive Best Tourism Villages 202...
Jatiluwih Tourism Village (Bali) and Wukirsari Tourism Village (Special Region of Yogyakarta) won the “Best Tourism Villages 2024” award from the United Nations World Tourism Organization
Trending
- # Daily Update
- # Regional
- # Nasional
- # Internasional
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).