• Saturday, 16 November 2024

Saksi Bisu Kota Gudeg Jadi Ibu Kota Negara dan Perang Revolusi, Istana Kepresidenan Yogyakarta

Saksi Bisu Kota Gudeg Jadi Ibu Kota Negara dan Perang Revolusi, Istana Kepresidenan Yogyakarta
Tampak depan Istana Kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung) tempo dulu | Wereldmuseum Amsterdam

SEAToday.com, Yogyakarta-Pemerintah Indonesia kembali membuka Istana Kepresidenan Yogyakarta untuk umum pada 7 mei 2024. Istana yang dikenal dengan nama Gedung Agung itu dipercaya dapat memberikan akses hiburan dan edukasi bagi segenap rakyat Kota Gudeg, dan Indonesia. Sejarah dan koleksi di dalamnya melimpah.

Koleksi yang melimpah dirasa sebagai kewajaran. Dulu kala Istana itu punya sejarah panjang. Rumah gedong (rumah besar) itu  difungsikan jadi kediaman petinggi Belanda. Belakangan Gedung Agung menjelma jadi penanda Ibu Kota pindah ke Yogyakarta dan Perang Revolusi. Begini kisah lengkapnya.

Istana Kepresidenan Yogyakarta atau Gedung Agung memiliki sejarah panjang. Kisah itu bermula dari era penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menganggap penting wilayah Yogyakarta. Mereka ingin menguasai Yogyakarta sepenuhnya.  

Upaya yang paling masuk akal untuk mengendalikan Yogyakarta adalah jalur penaklukkan. Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles menginvasi Yogyakarta pada 1811. Upaya penyerangan itu membawa keberhasilan.

Penguasa Yogyakarta akhirnya tunduk di tangan penjajah. Kondisi itu membuat kehadiran residen jadi penting. Ia seraya jadi kaki tangan Belanda untuk memastikan Raja Yogyakarta bekerja demi keuntungan Belanda.

Rumah Petinggi Belanda dan Jepang

Pemerintah kolonial pun memberikan bekal fasilitas dan akomodasi terbaik selama bekerja sebagai residen. Bekal fasilitas itu pernah dicicipi oleh Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert. Residen Yogyakarta di masa 1823-1825 memiliki ide membangun rumah gedong untuk yang sedang bertugas.

Rumah gedong yang dimaksud tak untuk ditinggalinya selama menjabat. Rumah itu nantinya dapat jadi persinggahan saat petinggi Belanda seperti Gubernur Jenderal berkunjung ke Yogyakarta. Ide Smissaert akhirnya diterima. Pengerjaan rumah gedong dimulai pada 1924.

Arsitek yang menjadi otak pengerjaan rumah adalah A.A.J. Payen. Seseorang yang dikenal sebagai guru lukis Raden Saleh. Gaya yang diusung Payen tak jauh dari memadukan gaya Eropa dan iklim tropis. Penggabungan itu dianggap sebagai solusi karena membawa gaya Eropa saja bisa membawa petaka di iklim tropis.

Pembangunan rumah gedong sempat terganjal oleh meletusnya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Pemerintah kolonial memfokuskan segala macam sumber daya dan keuangan untuk memadamkan perlawanan pasukan Diponegoro.

Pembangunan baru berjalan dan rangkum setelah 1932. Residen Yogyakarta pun memanfaatkan benar rumah gedong itu sebagai kediaman resmi residen. Masalah kembali lagi datang. Gempa bumi besar yang melanda Yogyakarta pada 1867 jadi penyebabnya.

Pembangunan dicanangkan kembali pada 1869 dan berhasil. Bangunan itu jadi tempat petinggi Belanda menetap.

“Realitas yang lucu, gedung ini menyandang sejumlah sebutan sesuai dengan eranya. Setelah disebut Keraton Sultan Tanah Paberingan, gedung ini dinamai Gedung Residen karena ditempati para residen Belanda. Pada 1920an masyarakat Yogyakarya menyebut Gubernuran, lantaran para gubernur jenderal yang darang dari Batavia paling senang tinggal di sini,” ujar Agus Dermawan T dalam buku Dari Lorong-lorong Istana Presiden (2019).

Pemilik bangunan itu baru berubah saat Belanda dipukul mundur Jepang pada 1942. Jepang pun menjadikan rumah gedong sebagai kediaman resmi pemimpin mereka. Gedung itu dinamai Koochi Zimmukyoku Tyookan.

Saksi Bisu Masa Revolusi

Kemerdekaan Indonesia membuat rumah gedong itu mendapatkan fungsi baru. Rumah itu tak lagi jadi sekedar kediaman resmi pesohor negeri. Seraya naik pangkat, rumah itu mulai difungsikan sebagai Istana Kepresidenan Indonesia pada 1947.

Pemanfaatkan rumah gedong terjadi karena tokoh bangsa memilih memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Pindah Ibu Kota terjadi karena Belanda datang kembali membonceng sekutu dengan niatan menjajah Indonesia kembali. Era itu dikenal dengan masa Perang Revolusi (1945-1949).

Belanda mulai buat onar. Imbasnya keselamatan tokoh bangsa terancam. Opsi paling memungkinkan adalah memindahkan Ibu Kota ke Yogyakarta. Penguasa Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX menyambut rencana itu dengan suka cita.

Sultan Yogyakarta mulai mempersiapkan rumah gedong yang kemudian dikenal sebagai Gedung Agung. Gedung itu lalu difungsikan sebagai pusat kekuasaan Indonesia yang baru. Gedung itu jadi pusat pergerakan Indonesia mengumpulkan tokoh-tokoh bangsa dan pusat strategi perjuangan Indonesia.

“Enam bulan sesudah aku tinggal di Gedung Kepresidenan ini, barulah terbentuk staf rumah-tangga, dengan perlengkapannya. Dapur umum untuk makanan pegawai dan dapur khusus untuk keperluan resepsi-resepsi. Ruangan dalam dipergunakan untuk resepsi dan kantor cabinet. Di belakang dari ruangan resepsi itu terdapat ruangan dinner (jamuan besar). Ruangan yang paling belakang digunakan Bung karno memberikan kursus pengetahuan politik ke kaum wanita,” ujar Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).

Soekarno pun tak henti-hentinya menyambut pejuang kemerdekaan dan tokoh bangsa di Istana. Nama besar seperti Ernest Douwes Dekker dan Musso pernah disambut Bung Karno di Gedung Agung. Namun, Gedung Agung tak hanya memuat romantisme revolusi belaka.

Gedung Agung juga pernah jadi saksi bisu peristiwa kelam Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948. Pasukan Belanda membombardir Kota Yogyakarta dengan pesawat terbang. Presiden Indonesia, Bung Karno sampai panik sekali.

Ia membawa serta istri (Fatmawati) dan anaknya untuk melindungi diri dari serangan bom Belanda di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Soekarno menganggap pengalaman hidup di masa Perang Revolusi itu antara hidup dan mati. Keadaan benar-benar darurat.  

“Tak terlintas dalam pikiranku untuk menyelamatkan keluargaku. Ketika bom pertama jatuh segera kubawa Fatmawati dan kedua anak kami ke kamar belakang Istana, karena asrama militer di hadapan istana berkali-kali menjadi sasaran bom. Kasihan Guntur. Anakku yang malang. Dia terus menggigil. Aku menyelimutinya dengan tikar dan melindunginya dengan badanku,” ucap Soekarno ditulis Cindy Adams dalam otobiografinya berjudul Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).

Perlawanan tak seimbang itu membuat Bung Karno dan tokoh bangsa lainnya ditangkap. Bung Karno pun lalu diasingkan ke Parapat, kemudian Pulau Bangka. Indonesia baru memperoleh pengakuan kemerdekaan pada akhir 1949.

Pengakuan itu membuat Gedung Agung tak lagi jadi pusat kekuasaan. Ibu kkota sudah pindah kembali ke Jakarta. Namun, kondisi itu tak mengurangi pamor Gedung Agung. Istana Kepresidenan Yogyakarta tetap dikenal sebagai saksi bisu sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Share
News Update
Bali Airport: 90 Flights Canceled in a Day Due to Eruption

Bali Airport: 90 Flights Canceled in a Day Due to Eruption

US President-Elect Donald Trump Appoints Elon Musk to Lead Govern...

US president-elect Donald Trump has appointed SpaceX founder Elon Musk (@elonmusk) to lead the Government Efficiency Department.

President Prabowo Meets President Joe Biden to Mark 75th Annivers...

Indonesian President Prabowo Subianto held a bilateral meeting with US President Joe Biden at the White House in Washington DC on Tuesday (11/12).

Prabowo Meets Biden at The White House to Discuss Indonesia-US Di...

During the meeting, President Prabowo was warmly received by President Biden, and the two leaders discussed the strong diplomatic ties between Indonesia and the U.S.

Multiple Accidents on Cipularang Toll Road KM 92 Damaging Numerou...

The collision occurred as the KM 92 area was hit by heavy rain and lightning, which likely contributed to poor visibility and slippery road conditions.

Trending