Kemenag dan Sertifkasi Pendakwah: Alasan Wacana Kontrol Ceramah Ulama Banjir Kecaman
SEAToday.com, Jakarta - Polemik pendakwah Miftah Maulana Habiburahman menghina penjual es teh berbuntut panjang. Segenap rakyat Indonesia mengecam aksi tak terpujinya. Miftah dianggap tak layak disebut ulama karena tutur katanya merendahkan wong cilik.
Dorongan hadirkan sertifikasi ulama kembali muncul. Dulu kala, inisiasi serupa pernah dihadirkan. Kementerian Agama (Kemenag) sempat mengeluarkan wacana sertifikasi pendakwah. Suatu wacana yang kontroversial di masanya. Begini ceritanya.
Tiada kriteria khusus jadi pendakwah di Indonesia. Barang siapa yang membangun reputasi mempuni terkenal – komunikatif, niscaya akan menemukan penggemarnya. Kondisi itu membuat stasiun televisi berebutan mengorbitkan seseorang pendakwah.
Belakangan urusan pendakwah jadi soal serius. Muatan ceramahnya kerap dipertanyakan. Banyak di antaranya kerap membawa pesan mengganggu moderasi beragama di Indonesia. Kemenag era 2014-2019, Lukman Hakim Saifudin ambil sikap pada 2018.
Mereka bak mendobrak pakem pendakwah dnegan menerbitkan daftar 200 mubalik (dai). Pendawah yang masuk di dalam daftar sudah dikurasi – punya ilmu agama mempuni, reputasi baik, dan komitmen kebangsaan.
Daftar itu langsung berselimut kontroversi. Kaum alim ulama menentang keras daftar yang dikeluarkan Kemenag. Daftar itu dianggap hanya menjaring ulama pro pemerintah saja. Bukan ulama yang kerap melontarkan kritik kepada pemerintah.
"Namun, karena ternyata menimbulkan polemik. Alangkah indahnya kebijakan ini dievaluasi dengan seksama dan dimusyawarahkan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta melibatkan para pimpinan ormas Islam sehingga kelak dapat menghasilkan kebijakan yang adil dan didukung oleh umat," ujar ulama kesohor, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dikutip laman Sindonews, 22 Mei 2018.
Ide Sertifikasi Ulama
Isu daftar 200 mubalik mendapatkan penolakan di sana-sini. Namun, penolakan itu tak membuat keinginan Kemenag mencari pedakwah berkualitas berhenti. Kemenag dengan nakhoda baru Fachrul Razi justru ingin supaya pendakwah punya standar tinggi untuk menyiarkan perintah agama.
Guang program sertifikasi ulama digulirkan pada akhir 2019. Fachrul merasa sertifikasi pendakwah bertujuan untuk menyatukan narasi keagamaan dan kebangsaan dalam satu napas. Artinya, sertifikasi itu dilakukan supaya pendakwah berpaham radikal dapat diminimalisir.
"Nanti kita lihat, saya punya program itu tapi belum tahu namanya apa, tapi saya sepakat kemungkinan ya. Saya sempat singgung pada rapat, ulama yang bersertifikat kalau enggak salah ya," kata Fachrul sebagaimana dikutip laman Kompas.com, 22 November 2019.
Kemenag pun mengklaim bahwa mereka telah berkoordinasi dengan banyak pihak, termasuk MUI. Kemenag tak ingin menunda rencana sertifikasi pendakwah. Keinginan itu supaya kompetensi individu pendakwah dapat sesuai dengan kebutuhan zaman.
Artinya pendakwah dapat memasukkan materi keagamaan kontemporer dalam ceramahnya. Materi-materi itu antara lain Syariah, bahan produk halal, wawasan kebangsaan. Kehadiran materi-materi itu membuat ceramah pendakwah – dalam pandangan kemenag—kian berisi.
Kemenag pun menganggap sistem sertifikasi pendakwah bukan barang baru. Pemerintah Malaysia dianggap telah lebih dulu melakukan inisiasi yang sama dan berhasil. Hasilnya pendakwah tak bertentangan dengan keinginan negara. setiap penceramah harus punya sertifikat, baru ceramah.
Keinginan itu membuat Kemenag bekerja cepat. Mereka mulai merumuskan standar-standar untuk sertifikasi pendakwah. Kemenag bak ingin menghadirkan pendakwah yang tak terlalu ekstrem kanan, dan tak terlalu ekstrem kiri.
Kecaman di mana-mana
Keputusan Kemenag supaya pendakwah memiliki sertifikat dapat tentangan dari banyak pihak. Fachrul Razi jadi sasaran kecaman. Menag Fachrul dianggap kurang kerjaan. Sertifikasi pendakwah harusnya bukan diatur pemerintah, tetapi masyarakat sendiri.
Kala pemerintah terjun langsung dalam melakukan sertifikasi sudah tentu erat dengan kepentingan politik. Bahkan, beberapa menganggap pemerintah sengaja mengatur pendakwah supaya pemerintah dapat memengaruhi keputusan agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja melontarkan protesnya. MUI beranggapan sertifikasi yang ingin dilakukan pemerintah gegabah. Program itu dianggap hanya akan menimbulkan kegaduhan. Masalah kegaduhan yang dimaksud adalah pemerintah bisa ikut campur urusan agama.
Kondisi itu kental pula dengan unsur politik. Mereka yang sesuai dengan keinginan pemerintah seraya akan didukung. Sedang mereka –kaum ulama yang kontra dengan keputusan pemerintah tak diberikan ruang untuk berceramah.
"Menghimbau kepada semua pihak (termasuk Kemenag) agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, dai/muballigh dan hafizh serta tampilan fisik (performance) mereka, termasuk yang lantang menyuarakan amar makruf nahi munkar bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Wakil Ketua MUI, Muhyiddin Junaidi dikutip laman CNN Indonesia, 8 September 2020.
Kemenag yang kurang kerjaan juga ikut dikomentari Presidium Alumni 212 (PA 212). Gerakan Umat Islam yang terdiri dari beberapa ormas itu mengungkap jika Kemenag tetap memaksakan niatnya, mereka akan dapat untuk menentang. Barang siapa ulama yang ikut program sertifikasi akan diboikot.
Mereka menganggap sertifikasi semacam itu dapat membuat pendakwah justru takut menyampaikan kebenaran. Akhirnya, masalah jadi ke mana-mana. Ceramah yang dihasilkan jadi kesesatan. Oleh sebab itu, PA 212 mengambil sikap untuk melakukan boikot.
"Kalau Kemenag paksakan maka jangan salahkan rakyat, khususnya umat Islam, yang istiqomah akan agamanya melakukan perlawanan dengan pemboikotan terhadap dai-dai bersertifikat," kata Novel dikutip laman CNN Indonesia, 9 November 2020.
PA 212 menganggap ulama pada hakikatnya adalah oposisi pemerintah. Nada-nada kritik di dalam ceramah adalah bentuk kewajaran. Suatu hal yang tak perlu diperdebatkan. Lainnya lagi, gaya ceramah antara pendakwah beda-beda. Ada yang bersemangat. Ada yang santai.
Pertentangan itu kemudian membuat program sertifikasi ulama menguap. Bahkan, menteri yang melontarkan gagasan justru diganti. Pada akhirnya, ketakutan-ketakutan terkait penceramah radikal yang mengganggu stabilitas bangsa dan negara tak terjadi. Fakta itu jadi penegas Indonesia belum butuh sertifikasi pendakwah.
Recommended Article
News Update
Bogor Police to Implement Car-Free Night in Puncak to Ease New Ye...
Bogor Police implement Car-Free Night in Puncak for New Year's Eve from 6 PM to 2.30 AM, with traffic diversions, odd-even rule, and a one-way system.
Powerful 7.3 Magnitude Earthquake Strikes Vanuatu, Causing Extens...
A powerful magnitude 7.3 earthquake struck just 30 km off the coast of Vanuatu's capital, Port Vila, on Tuesday (12/17), triggering landslides and flattening multiple buildings, including several embassies.
BMKG Forecasts Most Jakarta Areas Will See Rain on Tuesday Aftern...
On Tuesday, (12/17/2024), BMKG predicts rainfall across the majority of Jakarta's administrative regions during the afternoon.
30 Indonesians Successfully Repatriated from Syria in the Second...
The government has again evacuated Indonesian citizens (WNI) affected by the conflict in Syria. A total of 30 Indonesians arrived safely in the country on Sunday, December 15, 2024.
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).