Kematian Presiden Pakistan Zia ul-Haq: Bawa Duka, Misteri, dan Kecaman
SEAToday.com, Jakarta-Presiden Iran, Ebrahim Raisi dinyatakan meninggal dunia dalam kecelakaan udara pada 19 Mei 2024. Kecelakaan udara itu terjadi karena helikopter yang membawanya dan rombangan jatuh di wilayah Varzaqa, Provinsi Azerbaijan Timur.
Kematiannya pun membawa duka yang mendalam dan terselubung misteri. Kondisi itu karena Iran sedang dilanda konflik dengan Israel. Namun, Ebrahim Raisi bukan satu-satunya pemimpin dunia yang meninggal dalam kecelakaan udara. Dulu Presiden Pakistan, Zia ul-Haq juga meninggal dengan cara yang sama dengan menumpang pesawat. Begini kisahnya.
Karier Muhammad Zia ul-Haq dalam dunia militer terus moncer. Mulanya pria kelahiran Jalandhar, 12 Agustus 1924 itu diangkat sebagai tentara India di bawah panji Inggris pada 1945. Ia pun terlibat dalam Perang pasifik di Asia Tenggara.
Keterlibatannya banyak mengundang pujian. Namun, kala India merdeka dan melakukan pembagian wilayah, Zia memilih Pakistan. Ia pun bergabung dengan Angkatan Darat (AD) Pakistan. Ia pernah mencicipi banyak posisi di korps militer Pakistan dari 1947-1972.
Puncaknya Perdana Menteri Pakistan era 1973-1977, Zulfikar Ali Bhutto kagum. Ia mengangkat Zia sebagai Kepala Staf Angkatan Darat pada 1976. Ali menganggap Zia dapat membawa energi baru bagi Pakistan.
Malang nasib tak dapat ditolak. Pengangkatan Zia justru jadi senjata makan tuan. Zia justru berambisi menggulingkan Ali Bhutto. Kudeta yang dikenal luas sebagai Operation Fair Play digelarnya. Kudeta dilakukan dengan alasan Ali Bhutto tak layak jadi pemimpin Pakistan.
Sosok Ali Bhutto dianggap telah mencoreng wajah pemerintahan karena isu korupsi dan penyalagunaan kekuasaan – yang teranyar Bhutto disebut telah memanipulasi hasil Pemilu 1977. Hasilnya, Ali Bhutto dapat digulingkan.
Ali Bhutto lalu dihukum mati. Zia yang awalnya tak mau terlihat berkuasa. Ia hanya menjabat sebagai Kepala Administrator Darurat Militer saja. Ia mencoba membangun gambaran seorang pemimpin yang tak ambisius.
Belakangan ia justru bertindak mengubah konstitusi. Jabatan Perdana Menteri dihapus. Ia lalu duduk sebagai Presiden Pakistan. Kekuasaannya dianggap membawa angin segar bagi Pakistan.
Dua Versi Jenderal Zia
Jenderal Zia berkali-kali berjanji membawa masuk sistem demokrasi ke Pakistan. Namun, keinginan itu tak pernah terwujud. Ia justru memilih menggunakan sistem syariat Islam dengan militerisme daripada demokrasi.
Ia seraya menggunakan hukum Islam untuk mengikat kuasanya di Pakistan. Pendukungnya pun bermunculan. Mereka hadir memberi dukungan karena Zia dianggap sosok pemimpin Islam yang taat. Zia dipandang tak pernah melanggar perintah agama. Ia tidak minum alkohol.
Imej Islami yang dibangun ditunjang pula dengan keberpihakan Zia kepada kaum Mujahidin yang lagi berperang melawan Uni Soviet di Afghanistan. Zia memerintahkan badan intelejen, Inter-Seruicer Intellience (ISI) – CIA-nya Pakistan-- untuk melatih, memberikan senjata, hingga memilih target gerakan Mujahidin.
Siasat itu ditunjang dengan keberpihakan Zia menyejahterakan militer dan ulama. Zia pun tak mau salah memilih sukutu. Ia justru memilih berkiblat kepada Amerika Serikat (AS), ketimbang negara lain. Hubungan itu dikenal sebagai simbiosis mutualisme. Imej Zia pun tak selama baik di mata rakyat Pakistan yang jadi pendukung Ali Bhutto. Mereka menyebut Zia bak reinkarnasi setan, penjahat yang sejahat-jahatnya. Kemarahan itu memiliki alasan. Ratusan pendukung Ali Bhutto diperlakukan dengan tidak manusiawi. Mereka diasingkan dalam peta politik.
“Setelah kudeta tahun 1977, ribuan pendukung Ali Bhutto dipenjarakan dan ratusan lainnya dicambuk di depan umum. Empat tahun kemudian, meskipun Pemerintah bersikeras tidak ada tahanan politik di penjara, diplomat Barat memperkirakan jumlahnya hampir mencapai 2 ribu orang, mulai pemuda Muslim Hingga Militer,” ungkap Dennis Havesi dalam laporannya di koran The New York Times berjudul Mohammad Zia ul-Haq: Unbending Commander for Era of Atom and Islam (1988).
Akhir Tragis Jenderal Zia
Kuasa Jenderal Zia membuat gejolak politik dapat terkendali di Pakistan. Zia dapat bebas berkunjung ke mana-mana menemui rakyatnya tanpa rasa takut. Namun, tidak dengan kunjungan kerja Zia ke Bawahalpur pada 17 Agustus 1988.
Jenderal Zia memiliki dua agenda sekaligus di kota yang berjarak 600 kilometer dari Islamabad—ibu kota Pakistan. Agenda pertamanya adalah berjumpa dengan pemuka agama. Agenda kedua ingin melihat demonstrasi alutsista AD Pakistan.
Acara melihat demonstrasi Tank Abrams bikinan AS berjalan lancar di siang hari. Walau tak memuaskan. Uji coba penembakan tank itu banyak yang tak tepat sasaran. Zia tak ambil pusing. Ia memilih untuk makan siang dan menunaikan salat sebelum pulang.
Nasib tak ada yang mampu menebak. Zia dan 30 orang lainnya yang menumpang pesawat Hercules C-130 dengan call sign Pakistan Satu (Pak Satu) dilanda petaka. Pesawat itu rencananya akan membawa pulang mereka dari Bawahalpur ke Islamabad.
Mereka yang ikut di dalam pesawat termasuk Jenderal AD Pakistan hingga duta besar AS, Arnold R. Raphel. Mereka tak memiliki firasat buruk. Apalagi, pesawat yang ditumbangi telah diuji coba berkali-kali untuk memastikan keamanannya. Namun, pesawat itu celaka dan jatuh.
"Pak Satu hilang hanya beberapa menit setelah mengudara. Saat itu pula, di sebuah sungai sejauh sembilan mil dari lapangan udara, penduduk melihat sebuah pesawat melesat tak menentu di angkasa, sebagaimana sebuah roller coaster. Setelah puntiran ketiga, pesawat itu menukik lurus menghunjam gurun dan mengubur dirinya ke dalam tanah. Begitu bahan bakarnya terbakar, pesawat itu lalu meledak, dan menjadi gumpalan bola api,” hadir dalam laporan majalah Tempo berjudul Misteri Kematian Zia ul-Haq , 5 Agustus 1989.
Kecelakaan itu merenggut nyawa Jenderal Zia. Kematian Zia lalu diselubungi oleh misteri. Kematian Zia dianggap tak wajar, sebagaimana pemimpin dunia lainnya yang meninggal karena kecelakaan udara. Aroma sabotase dan pembunuhan dari pihak yang menjadi musuh Pakistan, Uni Soviet muncul.
Uni Soviet dianggap telah melakukan rencana jahat supaya Zia tak lagi menjabat sebagai orang nomor satu Pakistan karena mendukung Mujahidin. Versi lainnya menyebut anak Ali Bhutto, Mir Murtaza Bhutto yang kerap memimpin gerakan Anti Zia dengan kelompoknya Al-Zulfikar disebut sebagai otak pembunuhan Zia.
“Sebagai kesaksian atas rasa paranoia yang menyebar di Pakistan, banyak teori konspirasi muncul untuk menjelaskan penyebab kecelakaan itu,” ujar Steven R. Weisman dalam Koran The New York Times berjudul A Sense of Paranoia; What Zia's Death Means For Pakistan and the U.S., 21 Agustus 1988.
Teka-teki siapa otak pembunuhan pun segera respons oleh anak Ali Bhutto yang lainnya, Benazir Bhutto. Benazir yang kelak menjadi Perdana Menteri Pakistan itu menyebut publik tak perlu berspekulasi lebih tentang kematian Jenderal Zia.
Benazir yang masih tak terima ayahnya digantung rezim Zia mengungkap kematian Zia tak lebih dari campur tangan tuhan – takdir. Benazir tak pernah meralat pandangannya. Begitu pula dengan kasus kematian Zia yang tetap jadi misteri hingga hari ini.
Recommended Article
News Update
Erick Thohir Officially Inaugurates New Board for Indonesian Futs...
The formation of the new management for these two federations under PSSI aims to align all stakeholders related to football in Indonesia.
BAZNAS to Build Hospitals, Mosques, Schools in Gaza Recovery Prog...
The funds to be used are the donation funds that are still being held for the Palestinian people. According to him, the donation for Palestine titled “Membasuh Luka Palestina”
Ngurah Rai Airport Expands Access to Nusantara via Balikpapan wit...
General Manager of PT Angkasa Pura Indonesia I Gusti Ngurah Rai Airport Ahmad Syaugi Shahab in Denpasar, on Wednesday (11/20), said this route adds connection opportunities to the State Capital of the Archipelago.
Minister Yusril Clarifies: Mary Jane Veloso Transferred, Not Rele...
Yusril explained that the Indonesian government had received an official request from the Philippine government regarding the transfer of Mary Jane Veloso. The transfer can be carried out if the conditions set by the Ind...
Trending
- # Daily Update
- # Regional
- # Nasional
- # Internasional
Popular Post
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
TransJakarta Extends Operational Hours of Soekarno-Hatta Airport...
TransJakarta extended its service time until midnight for the corridor with destination to the Soekarno-Hatta International Airport, starting Wednesday (6/19).